Bagi Livia Octavira, Ibu adalah seorang peramal ulung.
Tanpa cerita panjang lebar, Ibu seolah tahu kehidupan yang akan dijalaninya. Padahal, dia belum pernah merencanakan bagaimana hidupnya, kecuali memasang mimpi yang tidak pernah tercapai di masa yang akan datang. Siapa pula yang merencanakan jalan hidup di masa depan sebelum waktunya tiba? Jangankan berencana, berpikir saja tidak.
Di masa lalu yang masih membekas di ingatan, Ibu pernah mengajaknya bicara. Girls talk only. Tanpa Ayah dan kakaknya, Leo, yang sedang keluar rumah untuk menghabiskan akhir pekan mereka, yang menyukai dunia otomotif. Hanya dia dan Ibu di rumah sejak pagi. Mereka tengah menyiapkan kudapan sekaligus makan malam di akhir pekan, saat Ibunya memulai percakapan antar perempuan.
"Senyum mulu nih, anak gadis Ibu." Goda Beliau, yang menghentikan sejenak aktivitas mengiris sayuran sebagai pelengkap sop ayam, begitu melihat Via yang bersenandung selagi mencuci beras. Beliau ikut tersenyum melihat Via.
"Ada kabar baik ya, Vi?" Tanya Ibu, dengan senyum jahil di bibirnya.
Via baru selesai mencuci beras yang akan dimasak di penanak nasi. Dengan wajah tersipu, dia berkata, "Ah, Ibu." Via meninggalkan senyum. Dia sendiri masih malu untuk mengungkapkan pada Ibu. Perasaan gembira yang dia rasakan saat itu memang tidak bisa diungkap secara gamblang karena anak laki-laki yang menurutnya menarik di sekolah.
Via tidak pernah lupa. Cinta pertama yang tidak pernah bisa dia miliki itu menjadi alasannya tersenyum tanpa sebab di masa remajanya yang labil.
"Tenang aja, Ibu nggak maksa kok kalau kamu belum mau cerita sama Ibu." Ibu kembali mengiris wortel yang masih utuh. "Segala sesuatu yang berhubungan dengan masa depan, jangan lupa bilang sama Ibu ya, Vi."
Via meringis. Membicarakan masa depan bagi Livia Octavira adalah sesuatu yang fana dan belum menjadi prioritasnya karena dia tengah menikmati masa SMP yang indah.
Sambil menunggu sop ayam buatan Ibu mendidih, Ibu dan Via sama-sama duduk di meja makan sambil memilah kacang hijau untuk menu sarapan besok pagi.
"Vi." Panggil Ibu, masih sibuk memilah kacang hijau.
"Iya, Bu?" Sahut Via.
"Ibu beneran penasaran." Mulai Ibu, yang menghentikan kegiatannya sejenak.
"Penasaran kenapa Bu?" Via masih belum memperhatikan Ibu, yang sudah menatapnya serius.
"Kamu lagi punya cowok yang kamu suka?"
Via langsung menghentikan kegiatannya. Pupil mata Via membesar ketika menatap Ibu. "Eh? Maksud Ibu?"
"Jangan pura-pura nggak paham deh sama maksud Ibu. Jawab aja, punya atau nggak?"
Via meringis. Saat itu, dia memang memiliki seseorang yang menarik perhatiannya. Laki-laki yang kerap membuatnya senyum-senyum sendiri setiap berinteraksi dengannya.
"Baru sekedar tertarik aja kok, Bu."
Ibunya tersenyum. "Nggak apa. Awalnya sekedar tertarik, lama-lama jadi penasaran sampai jatuh hati. Ibu juga pernah seperti kamu kok waktu SMP."
Via tersenyum. "Aku kira, Ibu nggak ngebolehin aku untuk jatuh cinta sekarang."
Ibu langsung menggeleng. "Mana mungkin Ibu menyuruh kamu untuk tidak jatuh cinta pada siapa-siapa? Kita nggak pernah memprediksi kapan, dimana, dan dengan siapa kita jatuh cinta, Via. Jatuh cinta kepada sosok yang tepat, Via. Suatu saat, kamu akan menyadari kalau sosok itu adalah sosok yang tepat untuk kamu."
"Tapi Via, Ibu boleh kasih tahu satu hal? Soal jatuh cinta?"
Raut Ibunya tampak serius. Via langsung mengangguk.
"Tidak ada yang bisa merencanakan bagaimana cinta itu datang, tapi Ibu harap kamu tidak jatuh dengan sosok yang salah."
"Sosok yang salah?" Gumam Via mengulangi perkataan Ibunya. "Sosok yang salah itu seperti apa, Ibu?"
Ibunya mengangguk. "Sosok yang bukannya membuat kamu bahagia setelah jatuh cinta, malah membuat kamu jatuh sakit karena perangainya yang menyakiti kamu."
Via tertawa kecil. "Bu, omongan Ibu kayaknya terlalu berat untuk Via."
Ibunya hanya meringis. "Berat ya? Ibu cuman mau ngasih tahu se-dini mungkin ke kamu, Vi. Kamu anak gadis Ibu satu-satunya Ibu sayang. Suatu saat, kamu akan bertemu seseorang yang menjadi belahan jiwa kamu. Hidup seperti Ayah dan Ibu."
Via mengangguk. "Via akan selalu ingat ucapan Ibu."
***
Beberapa tahun kemudian, Via paham dengan ucapan Ibu.
....
(Bersambung...)
Cek ombak dulu ah~
Boleh dong, komentar di inline ini. Pengen tahu berapa banyak yang baca 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAW(LESS)
ChickLit(Status: Completed) Livia Octavira merelakan lelaki yang mencintainya pergi karena ragu. Padahal Dimas adalah satu-satunya lelaki yang membuat hidupnya sempurna: mencintai dengan sabar, setia, dan tentunya mapan. Titik terendah hidupnya hadir saat...