"Kamu bisa ambil cuti lagi kalau masih belum siap." kata Marissa pada Arimbi.
Arimbi tersenyum, "aku baik-baik aja, aku butuh kesibukan biar nggak terlalu mikirin papa." kata Arimbi.
Hari ini hari pertama Arimbi masuk kerja, rekan-rekan kerja dan pimpinannya mengucapkan selamat datang padanya.
"Baiklah, nanti sepulang kerja kita hangout bareng ok." ajak Marissa dan dibalas oke oleh Arimbi.
Arimbi mengecek beberapa pekerjaan yang tertunda, ia kemudian menyelesaikannya satu persatu. Beruntung Marissa membantu menyelesaikan pekerjaannya saat ia cuti kemarin, jadi yang harus ia selesaikan tidak terlalu banyak. Satu dua hari kedepan pasti selesai.
"Ehem."
Suara deheman membuat Arimbi menoleh, Nesa menatapnya dengan tatapan sinis.
Arimbi menatap Nesa dengan dingin, ia juga diam tidak bertanya maksud perempuan itu apa, sampai akhirnya Nesa berkata, "gimana kabarmu?" tanyanya.
"Baik." balas Arimbi singkat.
"Maksudku, gimana perasaanmu saat, maaf ya," kata Nesa sebelum melanjutkan kata-katanya. "saat kamu kehilangan papamu, kekasihmu juga memutuskanmu?"
Arimbi mengepalkan kedua tangannya dengan keras, ia menatap Nesa dengan tatapan tajam. "Kamu tahu darimana?" tanya Arimbi. Kejadian malam itu tidak ada yang tahu, Arimbi tidak pernah membicarakannya dengan siapapun, bahkan Marissa saja belum tahu. Mungkin Marissa dan mamanya bertanya-tanya tentang ketidak hadiran Bagas, tapi mereka menghargai Arimbi jadi mereka tidak berani bertanya, mereka menunggu Arimbi yang menceritakannya.
"Kamu nggak usah tahu, yang jelas aku tahu semuanya. Bahkan aku tahu kalau ... siapa nama pangeranmu itu ups salah maaf maksudku mantan pangeranmu?" kata Nesa sarkas, melihat Arimbi yang menatapnya semakin tajam membuat Nesa semakin kegirangan. "Ah, Bagas, itu namanya." kata Nesa sembari tertawa. "Bagas akan bertunangan, aku nggak tahu kamu diundang atau nggak, aku hanya sekedar memberitahu saja, aku khawatir kamu nggak tahu berita ini, kasian kamu kalau masih berharap menjadi salah satu anggota keluarga bangsawan paling berpengaruh di kota kita ini." kata Nesa.
Dada Arimbi berdetak cepat, tubuhnya lemas, darah seakan tidak mengalir di tubuhnya. Arimbi berusaha mengatur napasnya, Nesa pasti berbohong, ia melakukan ini karena benci dan iri padanya, tapi darimana dia tahu kalau ia dan Bagas sudah berpisah? Astagfirullahalazim batin Arimbi. Ia berusaha berpikir jernih dan mengalihkan pikirannya. Ia mengabaikan Nesa sampai gadis itu keluar dari ruangannya.
Dengan berat hati Arimbi membatalkan janjinya dengan Marissa, setelah jam kerja berakhir ia langsung pulang ke rumah. Beruntung mamanya belum pulang dari toko bunga, jadi ia bisa menangis di kamar tanpa didengar oleh mamanya.
Setelah mandi dan berganti pakaian Arimbi meringkuk di atas kasur, selimut besar menutupi seluruh tubuhnya. Kamarnya gelap, hanya sebuah lampu tidur yang menjadi penerangnya. Arimbi menangis sejadinya, menangisi hidupnya yang menyedihkan setelah ditinggal papa dan orang yang dicintai sekaligus.
***
"Gimana keadaan Arimbi?" tanya Kresna.
Marissa menghela napas, lalu menggeleng pelan, "menyedihkan." katanya dengan suara lemah.
Kresna juga ikut menghela napas, "aku nggak tahu gimana cara ngebantu mereka."
"Apakah Bagas tahu tentang papanya Arimbi?" tanya Marissa.
"Aku sudah.mengiriminya pesan tapi nggak ada balasan. Dia juga susah dihubungi. Urusan kafe aku sendiri yang handle sekarang." keluh Kresna.
"Kamu nggak ke rumahnya?" desak Marissa. "Bisa aja dia belum sempat baca pesanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date
RomanceRaden mas Bagaskara Rahagi Hammani, pemuda tampan berkulit hitam manis, tengah dipusingkan dengan permintaan sang eyang yang mendesaknya untuk segera menikah. Alasannya klise, karena usianya sudah matang untuk menikah, dan Bagas tidak merasa seperti...