STD. 16

847 33 0
                                    

🥀🥀🥀

Tap ... tap ... tap ....

Suara langkah kaki Delia yang berlari sembari menangis. Ia terus berlari tanpa melihat arah, sampai-sampai ia hampir tertabrak pengendara motor yang lewat.

Makian pun keluar dari mulut sang pengendara dan dilontarkan kepada Delia. Tapi gadis itu sama sekali tidak perduli, ia kembali berdiri dan kemudian berlari lagi. Ia tidak perduli lagi dengan pesekitarannya yang sangat ribut, seolah-olah ia sudah tidak bisa mendengar suara-suara itu lagi. Yang ia dengar hanyalah suara cacian dan makian kebencian yang dilontarkan oleh keluarganya.

Suara-suara itu terus saja berbunyi dan terngiang dibenaknya, seolah ada yang sengaja me-replay nya.

Berlari tanpa arah sedari tadi, membuat dirinya kelelahan dan akhirnya terjatuh tersungkur di tanah.

"Hiks ... hiks ...," suara tangis Delia yang masih tersungkur.

Dengan perlahan, ia pun mulai bangkit. Meskipun dengan tertatih dan gemetaran, ia berusaha untuk tetap bisa berdiri.

Dengan langkah yang tertatih dan sedikit pincang, Delia pun kembali berjalan tanpa tujuan sembari terus menangis. Bahkan, disaat lututnya terluka karena terkena aspal itu tidak lagi terasa olehnya. Karena rasa sakit itu semua tidak sebanding dengan yang ada dihatinya.

Ia yang terus berjalan tanpa arah, akhirnya berhenti di sebuah tebing dekat pantai yang sunyi. Tidak ada satu orangpun di sana selain ia.

Ia yang tidak sanggup lagi berjalan akhirnya memutuskan untuk beristirahat di sana. Bahkan, ia langsung terduduk di atas rerumputan.

Pandangannya kini hanya menatap lurus kearah laut yang terhampar luas. Pandangan datar nan sendu itu terus saja memancarkan aura kesedihan yang teramat sangat mendalam.

'Pembunuh!'

'Dasar pembunuh!'

'Gara-gara kamu suamiku meninggal!'

'Enggak! Dia bukan saudaraku, dan dia juga bukan siapa-siapa aku! Dia itu hanyalah penjahat yang sudah membunuh papa!'

'Pembunuh, pembunuh, pembunuh. Dasar pembunuh!'

"AAAKHH ...!" erang Delia yang menjerit menangis histeris di pinggir jurang. Meluapkan semua rasa yang saat ini sedang bercampur aduk didalam dirinya.

Bahkan ia sampai memukul kepalanya sendiri guna untuk menghilangkan semua kata-kata yang terus berputar layaknya sebuah rekaman.

"Kenapa?" batinnya dengan tangan yang meringkuk memeluk tubuhnya sendiri sembari menangis.

"Aku bukan pembunuh. Bukan."

"Aku juga sedih, sama seperti kalian. Tapi bukan aku yang membunuh papa, bukan aku."

"Aku juga benci dengan diriku yang seperti ini, benci! Hiks ... hiks. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."

Begitu laranya hati Delia saat ini, membuat mata indah terus mengeluarkan air matanya dan menjadi semakin sembab. Rerumputan yang menjadi saksi saat itu juga. Air mata yang terus berjatuhan membasahinya.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang