STD. 35

749 28 0
                                    

"Rini, Rini," panggil Arin yang sudah rapi hendak pergi ke kantor.

"Iya, Nya," jawabnya yang menghampiri.

"Saya ada urusan di kantor dan mungkin akan lewat malam pulang. Jadi saya ingatkan ke kamu, jangan sesekali pun kamu datang menghampiri dan membantu si bisu itu. Apalagi sampai memberinya makan.

Ingat! Jika itu terjadi dan saya memergoki kamu, jangan salahkan saya jika kamu saya pecat tanpa gaji bulan ini." ancam Arin yang membuat Rini terkesiap tak percaya.

"Kamu dengar apa yang saya katakan tadi?"

"I_iya, Nya," jawab Rini mengangguk patuh, padahal hatinya berkata sebaliknya.

"Bagus lah," seru Arin yang berwajah datar dan kemudian berjalan keluar rumah, pergi ke kantor menggunakan mobil pribadi miliknya.

Rini pun menghela nafas lega saat melihat majikannya itu telah pergi, hingga menyisakan dirinya sendiri.

Segera ia menuju dapur, mengambil beberapa sisa sarapan yang tidak habis dan membawanya kebelakang rumah. Karena ini adalah kesempatannya untuk memberikan makanan untuk Delia yang masih di kurung.

Di gudang, Delia tengah meringkuk memegangi perutnya yang perih karena lapar. Bahkan untuk minum saja, ia meminum air hujan yang tertampung di sebuah wadah kaleng karena rembesan genteng yang bocor.

Tidak perduli itu bersih atau tidak, yang penting ia tidak kehausan. Tapi yang jadi masalah utamanya adalah rasa lapar yang sangat melilit perut.

Meringkuk diatas kasur bekas yang sudah tidak terpakai, Delia pun berusaha untuk menahan rasa lapar itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga Delia hanyalah gadis biasa yang sudah lemah.

Perut yang lapar dengan ditambah kepala yang pusing berdenyut membuatnya sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekedar berdiri saja rasanya seperti ia akan pingsan disaat itu juga.

Tak terasa airmatanya pun kembali terjatuh, ia merasa sedih dengan dirinya yang malang itu. 'Delia lapar, pa. Kepala Delia sangat sakit,' batinnya yang merintih mengadu pada sang ayah yang sudah tiada.

'Kenapa mama sangat tega padaku, pa? Apa salah Delia, pa? Apa?' lirih batinnya yang menangis pilu.

Hingga akhirnya ia terdiam, saat mendengar suara gembok pintu yang dibuka. Dengan masih di posisi sama, Delia pun mencoba untuk melihat kearah pintu.

"Astagfirullah! Non kenapa?" pekik pelan Rini saat memasuki gudang dan melihat Delia yang meringkuk dengan wajah pucat dan lemas.

Segera ia menghampiri gadis itu. Diletakkannya sembarang tempat napan yang ia bawa, kemudian membantu Delia untuk duduk.

Rini yang melihat Delia terus memegangi perutnya pun mengerti. Segera ia menyodorkan napan berisi makanan yang ia bawa barusan kepada Delia.

Dengan mata sayu, Delia pun melihat kearah napan dan kemudian menoleh kearah Rini. Mata cantik yang penuh dengan kesedihan dan rasa takut yang sangat mendalam.

Dengan tangan yang bergetar, Delia pun mendorong pelan napan tersebut. Ia terlalu takut untuk melanggar perintah hukuman yang diberikan oleh Arin. Takut jika sang mama nantinya kembali marah.

Rini yang mengerti akan apa yang dipikirkan oleh Delia pun mencoba menenangkannya. "Non tenang saja, gak akan ada yang tau jika kita merahasiakannya. Lagi pula, tidak ada siapa-siapa di rumah. Dan ini adalah kesempatan Non untuk makan, mengisi tenaga agar Nona tidak sakit," terang Rini seraya mengusap surai Delia lembut.

Delia yang masih bimbang untuk memilih pun akhirnya membuat Rini berinisiatif untuk menyuapi gadis itu.

Melihat  Rini yang begitu tulus dan sayang padanya membuat Delia tersentuh, dan kemudian memakan suapan pertama dari perempuan itu. Dengan setetes buliran bening yang mengalir.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang