STD. 47

397 18 15
                                    

Di rumah, Amel dan Arin sudah sangat merasa cemas. Sudah dipastikan jika mereka berdua akan kena amuk Arnold.

"Ma," beo Amel menghampiri Arin yang tengah duduk di kamar merasa pusing dan frustasi.

"Mama tidak apa-apa?"

Menoleh, Arin pun berusaha untuk tetap tenang meski pikirannya kalut. "Hanya pusing saja, Sayang. Ada apa?"

Dengan wajah kusut dan sedih, Amel pun duduk di samping Arin. "Aku takut, Ma. Aku belum pernah melihat Kak Arnold semarah itu," lirihnya.

Tersenyum tangguh, Arin membelai rambut Amel. "Sudahlah, kamu tidak perlu takut. Masalah Arnold biar Mama saja yang ngurus. Dia tidak akan bisa marah lama-lama, nanti Mama coba nenangin dia, ya. Dah, tenang aja."

Mengangguk, Amel pun memeluk Arin dari samping. "Tapi, Ma. Setelah apa yang kita lakukan, apakah Kak Arnold masih mau mendengarkan?" khawatir.

"Pasti itu, jadi tenanglah," ujar Arin yang sebenarnya juga sangat cemas.

Tidak lama berselang, mereka berdua mendengar seperti sebuah pintu yang dibanting keras. Segera mereka berdua pun mencari sumber suara tersebut. Saat ditelusuri ternyata berasal dari arah kamar Arnold. Dan terlihatlah Arnold yang tengah mengemas barang-barangnya ke dalam koper.

"Arnold, apa yang kamu lakukan?" tanya Arin yang bingung, tapi tidak ada reaksi apapun dari pemuda itu.

Dengan wajah menahan amarah, ia berkemas dengan cepat. Setelah itu ia beralih ke kamar Delia, dan seperti tadi, ia juga mengemas semua pakaian dan barang-barang kesayangan adiknya itu.

"Kakak," cicit Amel.

"JANGAN PANGGIL AKU KAKAK!" berangnya yang meledak. "Adik macam apa dirimu yang menyiksa saudarimu sendiri?! Dia itu kakak kamu juga, Amel!"

"Arnold! Mama tau kamu lagi marah, tapi jangan pernah membentak Amel! Dia adikmu juga. Bukan hanya Delia!" sarkas Arin.

"Dan Delia juga anak Mama! Kenapa Mama setega itu sama dia?! Salah dia apa, Ma?! APA?!" luapan emosi yang sudah tidak bisa di tahan lagi.

"Hanya karena masalah pakaian? Atau fitnah yang dilontarkan dari anak kesayangan Mama itu, sehingga Mama menjadi sesosok iblis yang sangat tega dan sanggup melukai anak Mama sendiri!"

"Arnold! Apa maksudmu? Apa kamu menuduh adikmu sebagai tukang fitnah? Itu adalah kesalahan dia," sarkas Arin.

"Mama hanya ingin mendisiplinkan dia saja. Agar dia tidak teledor dan ceroboh lagi."
Mendengar itu Arnold menjambak rambutnya sendiri frustasi.

"ARGHH! Kenapa enggak Mama bunuh aja sekalian biar Delia tidak merasakan penderitaan lagi dari sosok ibu berhati iblis seperti Mama! Biar aku juga bisa membenci Mama dengan sepenuh hati. Menyakiti Delia sama saja seperti menyakitiku, Ma. Hikss ... Kau menyakitiku secara tidak langsung," isak Arnold bersimpuh di pinggir kasur, lalu menepuk dadanya sendiri.

"Jangan jadikan Kekurangan Delia menjadi alasan Mama untuk melakukan hal keji itu, Ma. Andai Amel juga seperti Delia, atau aku sendiri yang mengalaminya, apakah Mama juga akan melakukan hal yang sama?"

"Hatiku sangat sakit saat melihat Delia yang seperti itu. Kenapa kalian begitu tega memperlakukannya seperti binatang, KENAPA?!"

Arin terdiam dengan mata berembun, tapi segera menoleh agar air matanya tidak jatuh. Sedangkan Amel juga terisak sedih melihat Arnold yang menangis bersimpuh.

"Kak," lirihnya menyentuh pundak Arnold, tapi pemuda itu langsung menepisnya.

"Tapi ini salahku juga." menyeka air matanya. Berdiri dan kembali mengemasi barang-barang Delia. "Aku salah karena sudah meninggalkan Delia sendirian. Seharusnya aku sadar, jika pilihanku untuk menitipkannya pada kalian itu akan menjadi malapetaka baginya."

"Kakak mau kemana?" tanya Amel.

"Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku akan pergi bersama Delia," ujarnya yang sudah selesai berkemas.

Mendengar itu, Arin dan Amel terkejut. "Segitu sayangnya kamu ke anak itu, sampai-sampai kamu mau meninggalkan, Mama dan adikmu?" cecar Arin.

"Ya, itu demi kebaikan Delia. Tapi tenang saja, sesekali aku akan menjenguk kalian," ujar Arnold.

"Memangnya kau mau tinggal di mana? Lalu kuliahmu? Apa kau ingin meninggalkannya?" sungut Arin.

"Tinggal di mana itu urusanku. Untuk kuliah, di Indonesia juga banyak fakultas yang bagus-bagus."

Terperangah, "Jadi, kamu mau meninggalkan study mu hanya untuk anak tidak berguna itu? Apa kau gila, Arnold! Sebentar lagi kamu akan lulus dan menjadi sarjana!"

"Menjadi sarjana belum tentu sukses dan bahagia," sinis Arnold dingin. "Tekad dan keinginanku untuk sukses adalah bahagia bersama Delia dan membuat kalian mengakui keberadaannya."

Meraih dua kopernya, Arnold pun siap untuk melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Amel yang tidak ingin pemuda itu pergi pun menarik baju bagian belakang.

"Jangan pergi, Kak," cicitnya yang berembun. Sedangkan Arnold menatap Amel sedih, hatinya sudah terlanjur kecewa.

"Berhenti melangkah Arnold. Atau Mama tidak akan menganggap kamu sebagai anak dan mencoret kamu sebagai ahli waris perusahaan," ancam Arin yang pastinya tidak mempengaruhi pemuda itu.

Menoleh dan tersenyum miring. "Baguslah, itu menandakan bahwa Mama memanglah bukan seorang ibu yang sayang pada anaknya. Dan masalah warisan, kita tanya saja dengan pak Gunawan pengacara ayah."

Setelah mengatakan itu, Arnold benar-benar pergi dari rumah. Menyisakan Arin yang mematung dan Amel yang menangis tersedu-sedu dan membuat dendam juga kebencian di hatinya semakin membara.

"DELIA BRENGSEK!"

***

Sedangkan di tempat lain, Johan yang baru tiba di rumah Linda langsung mendapat tatapan tajam dari Linda dan Dival yang memang sedang mampir.

"Ada apa?" tanya polos Johan yang memandang dua remaja itu.

"Bukannya gua udah bilang waktu di sekolah tadi, kalau gua masih perlu penjelasan lo, Jo. Apa alasan lo tentang, kok lo bisa dekat dengan tuh cewek?" cetus Linda yang duduk di ruang tamu bersilang kaki.

Menghela nafas, "Bukannya aku sudah menjelaskan kalau dia itu adalah teman masa kecilku. Apa itu masih kurang?"

"Ya masalahnya, kok lo bisa seyakin itu kalau dia adalah teman masa kecil lo? Sedangkan lo aja ketemu dia baru beberapa kali di sekolah ini," jengah Linda.

"Karena dia punya benda yang pernah aku beri sebelum aku pergi ke Amerika. Kamu juga tau kan, apa benda itu?"

"Benda kayak begitu banyak di jual di toko. Bagaimana lo bisa seyakin itu kalau dia adalah orangnya?" tanya Dival yang juga sudah mulai jengah.

"Benar itu," timpal Linda.

Menghela nafas gusar. 'Kalian kenapa sih? Kenapa kalian tidak menyukai Amel?"

"Karena dia gadis gak bener, Jo. Dia itu tukang bully, lo juga pernah lihat itu, kan? Dan Delia adalah korban yang paling sering dia bully," terang linda.

Johan terdiam. "Kita gak pernah ngelarang lo untuk dekat dengan siapapun, Jo. But, pliss ... lo lihat-lihat juga orangnya seperti apa."

"Ada intan berlian yang dipilih malah batu comberan, ck," herdik Dival membuang muka.

Menoleh, Johan pun menatap Dival bingung. "Apa maksudmu, Dival?'

Menggeleng dengan kepala yang tertunduk tersenyum miring. "Hah ... tidak ada. Sudahlah, lupakan saja. Oh ya, bagaimana situasi saat lo ngantar tuh cewek? Aman?"

Mengangguk pelan. "Ya, lumayan. Dia orangnya ternyata cukup periang," jelas Johan.

Dival dan Linda hanya ber-oh ria saja. "Tidak ada yang aneh, atau ada sesuatu gitu?" tanya Dival.

"Tidak. eh tapi, waktu aku ingin pulang aku sempat mendengar ada suara orang yang menangis dan mengerang kesakitan gi ... tu."

Ucapan Johan terhenti karena Dival yang langsung berlari ke arah motornya dan melaju kencang entah ke mana. terlihat kekhawatiran di wajahnya.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang