STD. 7

1K 49 56
                                    

Jika sudah mampir jangan lupa vomen ya ....





"Semua cobaan pasti mengandung hikmah tersendiri yang di siapkan oleh Sang Maha Kuasa. Tapi, cobaan itu terlalu berat untukku lalui. Apakah aku sanggup untuk melaluinya atau aku akan jatuh semakin dalam kedalam lubang penderitaan?"

Delia.

Masih di taman yang sama, dimana Delia dan bocah lelaki itu sedang bermain ayunan. Dengan sesekali tertawa karena gurauan dari anak itu.

"Oh iya. Kita dari tadi bicara dan banyak bercerita, tapi kita belum tahu nama satu sama lain," ujar anak itu dengan cengiran.

Anak itu pun mengulurkan tangannya. "Johan. Kalau kamu?" tanyanya yang membuat Delia hanya diam ditempat dengan tangan yang ia tarik kembali.

Seketika anak yang bernama Johan itupun menepuk dahinya. Bodohnya ia, bagaimana ia bisa lupa kalau sahabat barunya itu tidak bisa bicara?

"Maaf, aku lupa," ucap Johan.

Delia yang tahu kalau Johan tidak bermaksud untuk hal tadi pun hanya tersenyum dan mengangguk. Ia tidak mempermasalahkan hal itu, karena itu adalah hal biasa baginya.

Johan pun bernafas lega, ia pikir kalau Delia akan merasa sedih kembali.

"Aku sungguh tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin tahu namamu, tapi aku lupa akan hal itu," ujarnya yang hanya di angguki oleh Delia.

Dengan jari telunjuk yang menempel di pipinya, Johan pun berfikir. Apa yang harus dia lakukan agar ia bisa memanggil sahabatnya itu dengan Nama?

Lalu, sebuah ide muncul di benaknya. "Aku tahu." antusias Johan dengan wajah berbinar.

"Bagaimana kalau kamu aku panggil Jeje dan kamu panggil aku Jojo?" ucap anak itu yang membuat Delia menatapnya.

"Karena aku tidak tahu siapa nama kamu, dan kamu juga gak bisa memberitahuku, jadi aku berpikir untuk memanggilmu dengan nama Jeje. Bukankah itu cocok dengan namaku juga, yang kini akan kau sebut dengan Jojo. Anggap saja ini nama panggilan khusus kita, supaya suatu hari nanti kita bisa saling mengenal dengan mudah jika kita berpisah sebentar nanti," ujar Johan panjang lebar.

Ia setuju saja jika harus dipanggil dengan nama yang berbeda. Tapi satu yang mengganggunya saat ini. 'Berpisah?'

Apakah mereka akan berpisah nanti? Tapi kapan? Bukankah mereka sudah berjanji untuk selalu bersama? Tapi sekarang kenapa harus ada kata pisah yang sahabatnya itu katakan?

"Hei. Apakah kau keberatan dengan hal itu?" tanya Johan karena tidak ada respon sama sekali dari Delia.

Dengan tersenyum tipis, ia pun menggenggam tangan Johan, dan seperti sebelumnya, ia pun meletakkannya di atas kepalanya dan kemudian menggelengkan kepalanya.

Dengan perlahan, Delia pun mulai menggerakkan tangannya dan tangan Johan. "Tidak. Justru aku senang dan sangat suka nama itu. Terimakasih." ucapnya yang menggunakan bahasa isyarat.

"Kau menyukainya?" tanya Johan memastikan. Karena ia belum bisa memahami bahasa isyarat. Dan sebagai jawabannya, Delia pun mengangguk.

Johan pun menghela nafas lega. "Aku kira, kau tidak suka jika aku memanggilmu dengan nama itu. Aku sungguh sangat takut tadi," terang Johan yang membuat Delia tersenyum lebar.

Baru kali ini, seorang Delia bisa tersenyum lebar seperti itu. Sebuah senyum bahagia dari sesosok sahabat yang baru ia jumpai. Membuat ia lupa sebentar akan luka yang menggores hatinya saat ini.

***


"Kak Rita, apakah kau melihat Delia? Dari tadi aku mencarinya, tapi ia tidak ada dimana-mana?" tanya Arnold yang mencari keberadaan adiknya itu. Pasalnya, sepulang dari rumah temannya ia tidak melihat keberadaan Delia.

"Non Delia masih belum pulang, Den," jawab Rita lesu.

"Apa? Belum pulang? Dari tadi pagi, Kak?" dan Rita pun mengangguk.

"Terus, kenapa Kakak gak cari dia?"

"Bagaimana saya mau cari? Dari tadi saya di suruh ini-itu sama Non Amel dan Nyonya Arin," keluh Rita pada Arnold.

"Rencananya selesai pekerjaan ini, saya akan mencari Non Delia."

"Gak perlu, Kak. Biar aku saja yang mencarinya," ujar Arnold dengan nada cemas.

Dengan cepat ia pun mengeluarkan sepeda miliknya yang berada di pekarangan rumah, dan mengayuhnya keluar rumah untuk mencari keberadaan Delia.

Sedangkan di tempat lain, Amel yang melihat Arnold keluar untuk mencari Delia pun hanya bisa diam dengan raut wajah yang marah bercampur benci.

"Kenapa? Kenapa semuanya begitu peduli dengan Delia? Jelas-jelas aku ada disini, tapi kenapa selalu dia yang dicari? Tidak Papa, kak Arnold dan yang lain, semuanya terus dan selalu mencari Delia. Lalu, aku di anggap apa?" monolog Amel yang sembari menggenggam kedua tangannya erat.

"Saat ini kau mungkin mendapat semua perhatian dari mereka yang menyayangimu, tapi tidak nanti. Karena semua itu akan aku dapatkan dan akan menjadi milikku." ucapnya dengan tersenyum miring. Dan setelah itu Amel pun berjalan menuju kamarnya.

Di luar rumah, Arnold terus mencari keberadaan Delia. Sepanjang jalan ia terus memanggil nama adiknya itu, berharap ada jawaban. Sampai akhirnya ia sampai di taman. Ia ingat kalau Delia sangat suka pergi kesana, jika sedang merasa sedih. Ia pun turun dari sepedanya dan mulai mencari adiknya itu.

Sedangkan di sisi lain, Delia dan Johan kini tengah bermain-main di bawah pohon rindang yang berada di taman. Setelah puas, merekapun sejenak beristirahat di bawah pohon itu.

"Aku sangat senang hari ini," beo Johan yang tersenyum.

"Meskipun permainan kita sederhana, tapi itu sangatlah menyenangkan. Terimakasih karena sudah mau bermain denganku," ucap Johan menatap lurus ke depan. Dan sebagai jawabannya Delia pun mengangguk.

Jujur, Delia pun sangat senang hari ini. Ketimbang di hari-hari sebelumnya saat ia belum mengenal Johan. Setidaknya kini ia memiliki warna baru di hidupnya yang kelabu.

Johan yang sedari tadi diam pun teringat dan terpikirkan akan sesuatu. "Jeje," panggilnya sembari merogoh saku celananya hendak mengambil sebuah barang yang ada di sana.

Setelah mendapatkan barang tersebut, Johan pun lantas memberikannya pada Delia. "Ambil lah."

Delia pun mengambil barang tersebut yang ternyata sebuah gelang putih yang memiliki dua lonceng tergantung indah di sana.

"Aku tidak tahu, apakah kau suka dengan gelang itu atau tidak. Soalnya, aku mendapatkan itu di kotak sereal yang aku makan tadi pagi," ujar Johan yang menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

"Aku juga sempat bertanya dengan bundaku, seperti apa bentuk gelang itu. Dan dia bilang kalau gelang itu berwarna putih dan ada dua loncengnya."

"Awalnya aku bingung mau aku apakan gelang itu? Sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Dan aku rasa, gelang ini cocok untuk di jadikan alat komunikasi kita," cetus Johan yang membuat Delia menjadi bingung.

Bagaimana caranya?

"Aku tahu, kalau kau pasti sedang bingung, kan?" tanya Johan yang menoleh ke arah Delia.

"Begini. Kau pakailah gelang itu di tanganmu. Dan setiap aku bertanya, kau goyangkan saja gelang itu sampai berbunyi. Satu suara lonceng untuk jawaban 'ya', dan untuk dua suara lonceng itu 'tidak'. Kau paham 'kan, apa yang aku maksud?"

Delia yang paham pun langsung mengangguk, dan kemudian memakai gelang itu di tangannya. Sedangkan Johan, ia hanya tersenyum sembari mendengarkan bunyi lonceng dari gelang tersebut. Sebuah bunyi yang akan ia ingat selalu.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang