STD. 30

747 28 4
                                    

Tidak adanya jarak diantara mereka berdua, membuat Delia mampu merasakan jantung Dival yang berdegup cukup kencang.

Saat dia mendongakkan kepalanya, terlihatlah wajah Dival yang begitu dekat dengan wajahnya. Jika bukan karena helm full-face yang di pakai pemuda itu, mungkin deru nafasnya akan terasa jelas menerpa dirinya.

Bola mata bernetra hitam pekat itu terus saja menatapnya lekat. Tatapan tajam yang lembut dan hangat. Sangat berbeda dengan apa yang selama ini telah dia dapatkan, dari orang-orang yang tidak menyukainya.

'Andai waktu bisa berhenti, sebentar saja,' batin Dival yang masih saja menatap Delia.

"Cieee ... Pacaran." ledek seorang bocah laki-laki yang lewat, dengan senyum meledeknya.

Segera Delia pun melepas dekapanya dari Dival, dan membenarkan posisi berdirinya. Terlihat jelas wajahnya yang memerah karena merasa malu atas apa yang telah terjadi. Begitupun dengan Dival yang memalingkan wajahnya.

'Dival bodoh,' umpatnya pada dirinya sendiri.

"Cieee ... Kok gak pelukan lagi?" ledek anak itu lagi.

Dengan pandangan datar, Dival pun menoleh kearah anak itu. "Anak kecil gak usah ikut campur. Apa yang lo liat, semuanya gak bener. Kita cuma teman." kilahnya yang sudah pasti tidak dipercaya oleh anak itu.

"Masa? Tapi kok pelukan?"

"Ya karena tadi dia hampir jatuh."

Bocah itu menyipitkan kedua matanya masih tidak percaya. Melihat itu, Dival pun berdecih. "Terserah, mau lo percaya atau tidak. Lagian ngapain sih, disini? Pulang sana." usirnya pada anak itu.

Bukannya pergi, bocah itu malah menengadah kan tangannya kearah Dival. "Ngapain lo?" tanya Dival bingung.

"Kalau mau aku pulang, Om harus kasi aku uang dulu untuk ongkos," jawabnya polos.

Mendengar hal itu, Dival pun mengusap helm yang masih ia pakai sedikit kasar. Kesal rasanya, sudah mengganggu momennya kini bocah itu malah malak dirinya.

Berdengus sebal, pemuda itupun mengambil dompet di saku celananya. Mengeluarkan uang dua puluh ribu, dan memberikannya pada anak itu.

"Udah, ya. Sekarang pulang, lo." usirnya lagi, sembari menyimpan kembali dompetnya.

"Gitu dong, Om. Baik dikit sama anak kecil." dan Dival membalasnya dengan berdeham.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Om dan kakaknya. Dan makasih uangnya," ucapnya yang mencium uang tersebut, dan memasukknya kedalam kantongnya. Setelah itu, dia pun pergi dengan sedikit bersenandung.

Perginya bocah tersebut, Dival pun menghela nafasnya lega. Kemudian dia kembali menoleh kearah Del ia yang sedari tadi hanya menonton.

Sejenak mereka berdua terdiam, hingga akhirnya Delia membuka suara dan mulai menggerakkan kedua tangannya.

"Kamu kok belum pulang?"

Bukannya menjawab, pemuda itu malah menatapnya intens. Membuat Delia mengalihkan pandangannya dan menunduk.

"Lo sendiri, kenapa belum pulang? Kemana sepeda, lo?" tanyanya balik. Lantas Delia pun menunjuk kearah bengkel pak Dodi, dengan kepala yang masih menunduk.

Mengerti akan maksud dari gadis tersebut, membuat Dival menghela nafas. Tanpa dijelaskan lagi pun dia sudah tahu, bahwa itu adalah ulahnya Amel dan temannya.

Geram rasanya memang, tapi untuk saat ini dia tidak bisa apa-apa. Kecuali berinisiatif untuk mengantarkannya pulang.

"Naik," ucapnya dengan pandangan yang lurus kedepan.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang