STD. 14

833 36 3
                                    

🥀🥀🥀

"Jangan ikut campur!" bentak Arin menatap nyalang Rita. Baru kali ini ia melihat wanita itu semarah ini.

Lalu, atensi Arin pun beralih pada Delia yang masih tersungkur menangis menahan sakit di kepalanya.

"Kamu!" tunjuk Arin pada Delia yang penuh penekanan. "Ini semua gara-gara kamu! Karena kamu suamiku meninggal, hiks-hiks ...," tangisnya yang kemudian kembali berubah beringas.

"KENAPA GAK KAMU SAJA YANG MATI, HAH?! KAMU ITU HANYA ANAK PEMBAWA SIAL PADA KELUARGA INI! ANAK YANG HANYA MEMBAWA BEBAN DAN KESENGSARAAN! LEBIH BAIK KAMU YANG MATI!" pekik Arin yang emosi sembari mencengkram bahu Delia kuat dan menggoyang-goyangkan tubuhnya secara kasar.

Melihat itu, Rita pun segera menolong Delia. Menepis tangan Arin hingga membuatnya mundur beberapa langkah, dan kemudian memeluk Delia.

"Sudah cukup Nyonya! Ini sudah keterlaluan!"

Arin yang tidak terima akan tindakan dari Rita pun lantas menariknya hingga menghadap kearahnya. Membuat Rita kembali melepas pelukannya.

"Apa hak mu sampai kau berani memerintah ku? Aku ini bos mu, majikan mu. Kau tidak memiliki hak untuk menghentikanku, paham!" ujar Arin yang penuh penekanan dengan tatapan penuh amarah.

Namun, Rita tetaplah Rita. Ia tidak takut sama sekali pada wanita itu, justru malah balik menatapnya tajam.

"Saya memang bukan siapa-siapa di sini, saya hanyalah seorang pengasuh yang dipekerjakan di sini. Tapi, apa yang anda lakukan saat ini sudah sangat keterlaluan."

"Saya tahu saat ini anda tengah berbelasungkawa, tapi hal itu jangan di jadikan sebuah alasan untuk menyakiti anak anda. Dia tidak tahu apa-apa, dan dia juga sama seperti anda bahkan lebih. Karena ia kehilangan sesosok pahlawan di hidupnya, cinta pertamanya, dan orang yang paling menyayanginya."

"Sakit yang anda rasa, tidak sebanding dengan rasa sakit yang Delia terima," terang Rita panjang lebar dengan setetes air mata yang terjatuh dan mengalir di pipinya. Sedangkan Arin, ia hanya menatap Rita tidak suka.

"Berani sekali kamu menceramahi saya?"

"Ya, saya berani," jawab Rita lantang. "Untuk apa saya takut jika itu memang kebenarannya dan kenyataan dari semua yang terjadi!"

Plak ....

Sebuah tamparan kuat yang berhasil mendarat di pipi Rita, dan pelakunya adalah Arin. Ia benar-benar sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia pun menjambak rambut Rita hingga wanita itu mendongakkan kepalanya.

Bik Anak yang melihat itupun menjadi panik dan berusaha untuk melerai mereka. "Nyonya Arin, sudah. Lepaskan Rita, kasihan dia."

"DIAM!" bentak Arin, membuat bik Ana menjadi takut untuk kembali melerai. Lalu atensinya pun kembali pada Rita.

"Kau sangat berani padaku," ucapnya yang penuh penekanan. "Dan kau tahu, apa yang bisa aku lakukan saat ini juga karena ulah mu?" Rita pun melirik Arin sembari menahan rasa sakitnya.

Arin pun tersenyum smirk, dan kemudian memutar kepala Rita hingga menghadap Delia yang terduduk sambil menangis. Rita yang mengerti akan maksud tujuan dari Arin pun segera menggeleng.

"Tidak. Saya mohon, jangan sakiti non Delia lagi," pintanya yang menyatukan kedua tangannya.

"Cukup saya saja yang dihukum, jangan dia. Saya mohon, hiks-hiks ...."

Arin pun tersenyum sinis. Ia pun melepas jambakannya dengan kasar, dan menatap miris wanita itu.

"Baiklah," ucapnya datar. "Mulai besok kau tidak akan berkerja di rumah ini. Kau aku pecat."

Semua yang mendengar itu pun sontak kaget, terlebihnya Rita. Ia sama sekali tidak menyangka akan jadi seperti ini akhirnya.

"Tap-tapi Nyonya ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Atau kau mau dia yang menggantikan mu?" tunjuknya pada Delia. Segera Rita pun memeluk gadis itu dan menggeleng.

Arin pun berdecak, dan kemudian melirik Delia. Menghampirinya dan mencengkram rahang gadis tersebut kuat.

"Dan kau. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi, paham." peringatnya yang penuh penekanan. Setelah itu, iapun pergi meninggalkan semuanya dan masuk kedalam kamarnya, dengan membanting pintu kamar kuat.

Bik Ana yang menyaksikan semuanya pun lantas segera menghampiri Rita yang menangis sembari memeluk Delia erat.

"Yang sabar yo ndok," beo bik Ana yang mengusap punggung Rita.

"Kenapa semuanya jadi begini, Bik?" lirih Rita yang terus menangis.

"Jangan tanya Bibi, aku pun gak tahu kenapa bisa jadi begini. Tapi yang pasti nangisnya udahan dulu. Itu, kepala non Delia berdarah, lebih baik kita obati dulu," ujar bik Ana saat melihat bekas  darah yang sudah mulai mengering.

Rita yang ingat akan luka Delia pun cepat menghapus air matanya dan kemudian membawa gadis kecil itu kedalam kamarnya.

Dengan telaten, wanita itupun mengobati luka Delia. Sedangkan gadis tersebut hanya bengong menatap kosong ke sudut dinding.

Kejadian demi kejadian yang terjadi hari ini terus saja terngiang di benaknya. Terlebihnya dengan perkataan Arin tadi. Benarkah ia pembunuh ayahnya?

Jika diingat-ingat, ayahnya meninggal karena berusaha untuk mengambil bola itu. Dan seharusnya di posisi itu adalah dia, bukan ayahnya. Karena Amel yang menyuruhnya untuk mengambil bola tersebut.

Menyaksikan kejadian dimana orang yang kita kasihi mengalami hal tersebut dengan mata kepala sendiri memanglah pukulan terberat bagi orang yang ditinggalkan.

Tidak terasa, setetes demi setetes air mata Delia pun keluar jatuh membasahi pipi dan pakaiannya. Rita yang melihat itupun segera menangkup wajah Delia, menghapus sisa air matanya dan kemudian menggeleng pelan sembari tersenyum lirih.

Bukannya berhenti, tangisan Delia justru semakin kuat. Pasalnya ia tidak akan bisa bertemu dengan Rita lagi besok. Dan jika wanita itu pergi, maka tidak akan adalagi orang yang bisa membela dan menolongnya.

"Jangan menangis, nanti saya juga ikut nangis," ujarnya lirih yang berusaha menghibur.

Pelan tapi pasti, Delia pun mulai tenang dari tangisannya. Mengelap sisa air matanya, lalu menatap Rita lirih dan mulai menggerakkan kedua tangannya.

"Jangan pergi." dan Rita pun hanya membelai rambut Delia sayang sembari menitikkan air matanya.

Tidak ingin rasanya ia memang meninggalkan Delia seorang diri. Namun, apalah dayanya saat ini. Pilihan yang diberikan oleh Arin sangatlah sulit baginya untuk memilih. Jika ia masih terus berada disini, maka Delia lah yang akan terkena imbas dari perbuatannya. Dan pada akhirnya, ia pun memilih untuk keluar dari rumah itu. Meskipun berat, tapi ini untuk kebaikan Delia. Walaupun ia tidak menjamin akan keselamatan gadis kecil itu kedepannya saat ia tidak ada.

"Non," panggil lirih Rita. "Malam ini bolehkan, saya tidur bareng bersama non Delia?" pintanya seraya menyeka air matanya.

Delia pun mengangguk, dan kemudian memeluk Rita. Wanita itu pun membalas pelukan Delia, dan setelah itu membaringkan tubuh gadis kecil itu di ranjangnya. Begitupun dengan Rita yang menarik selimut dan juga berbaring di samping Delia.

Merekapun saling menghadap, menatap satu sama lain sambil mengusap-usap  wajah dengan lembut. Dan tidak terasa, Delia pun tertidur di dekapan Rita. Ia yang melihat itupun lantas tersenyum lirih sembari mengelus surai Delia.

"Tidur yang nyenyak, ya. Semoga mimpi yang indah ya, Non. Karena besok adalah awal dari kehidupan anda yang keras," gumamnya yang kemudian terisak dalam diam.

🥀🥀🥀

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang