STD. 53

460 20 3
                                    

"Delia! Ayo makan malam, Kakak udah selesai masak nih," panggil Arnold sembari menyajikan makanan di atas meja.

Melihat Delia tidak kunjung keluar kamar, ia pun menghampiri kamar Delia dan mengetuknya.

"Dek, kamu dengar Kakak?" panggilnya lagi.

Tidak adanya respon, Arnold sedikit panik. Ia pun terus mengetuk pintu kamar adiknya itu, hingga akhirnya sang empu membukakan pintu.

Melihat sang adik tidak apa-apa, Arnold menghembuskan nafas lega. "Kenapa responmu lama sekali? Kakak sempat cemas tadi takut kamu kenapa-kenapa," ucapnya yang diiringi bahasa isyarat.

"Aku tadi lagi mandi, jadi alatnya aku lepas. Saat aku pakai lagi baru aku dengar suara Kakak," balas Delia.

"Ya sudahlah kalau kamu gak kenapa-kenapa, ayo makan," ajak Arnold menuju meja makan.

Delia mengangguk, menutup pintu segera ia mengikuti kakaknya.

Ditengah-tengah asik menyuap makanannya, Arnold melihat Delia makan dengan tidak nafsu. Kunyahannya sangat lambat dan terkadang seperti melamun.

"Dek, kenapa? Kamu gak suka makanannya? Biar Kakak masak yang lain," ujar Arnold, Delia tersentak dan menggeleng.

"Lalu? Kamu kenapa?"

Meletakkan sendoknya, "Aku hanya kepikiran Mama saja, Kak."

"Untuk apa memikirkan orang yang belum tentu memikirkan kamu," ucap Arnold sembari mengunyah.

"Tidak perlu memikirkan mama, dia baik-baik saja di rumah dengan Amel," sambungnya.

Delia sedikit menunduk, lirikannya ia alihkan ke samping. "Ada apa lagi, Del? Ada sesuatu yang ingin kau katakan? Bicaralah, jangan diam saja," cetus Arnold yang terus memperhatikan adiknya itu.

Menoleh, "Kakak masih ingat dengan teman masa kecilku tidak?" gerak isyarat Delia.

Arnold pun terdiam dan mencoba mengingat. "Teman yang di taman terus memberimu surat itu, bukan?"

Delia mengangguk. "Kalian sudah bertemu kembali? Kapan? Di mana? Apa dia mengenalimu?"

Mendengar itu Delia tersenyum kecut. Dari sumringah, senyum Arnold berubah turun. "Dia tidak mengenalimu?" Delia menggeleng dengan senyum kecutnya.

Ingin sekali Delia menceritakan semuanya, tapi sekali lagi ia memilih untuk diam. Ia tidak ingin hanya karena hal kecil menjadi pemicu pertengkaran antara kakaknya dan keluarganya yang lain, ia hanya tidak ingin semakin dibenci.

Menghela nafas, tangan Arnold pun meraih tangan Delia dan menggenggamnya. "Yang sabar, ya. Mungkin kalau kamu ngomong secara langsung dia bakal tau kalau kamu itu adalah temannya dulu. Kamu masih menyimpan surat itu, kan?"

Tersenyum, Delia mengangguk meskipun kenyataannya adalah semua benda itu kini berada di tangan Amel.

***

"Lin, Linda," panggil Rose dari arah pintu kamar.

Tidak ada respon, Rose pun mengambil sebuah boneka dan melempernya ke arah anak gadisnya itu. Linda yang sedang melamun pun tersentak kaget.

"Ih, Bunda. Bikin kaget aja," omel gadis itu.

"Siapa suruh kamu ngelamun, kesambet baru tau," seloroh Rose.

"Bunda apaan sih, ganggu," sungut Linda cemberut.

"Makanya kalau dipanggil tuh nyaut. Noh ada yang cariin."

"Siapa?"

"Johan," Linda pun ber-oh saja.

"Dival juga ada tuh, sama satu anak cewek. Bunda gak tau siapa, mungkin kamu kenal," sambung Rose.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang