STD. 50

432 23 12
                                    

Merayakan bab 50, Pentor panjangin nih babnya. Selamat membaca :)

"Makasih, ya, udah mau jemput aku," ujar Amel tersenyum ke Johan yang melepaskan helm di kepalanya sendiri.

"Selagi aku bisa, pasti aku lakukan," seru Johan.

Amel terus tersenyum, rasanya di dalam dadanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan. Matanya yang penuh rasa cinta untuk Johan tidak bisa dipungkiri. Matanya terus menatap Johan.

"Kamu enggak masuk kelas dulu?" tanya Johan yang membuyarkan lamunan Amel.

"Sebentar lagi kita mau upacara loh."

"Eh, emm, aku lagi nungguin kamu," ujar Amel yang sedikit gelagapan.

"Oh," jawab Johan yang turun dari motornya. "Ayo."

Amel mengangguk dan berjalan di samping pemuda itu, tidak lupa ia menggandeng tangannya. Johan hanya menghela nafas dan menggeleng kepala pelan melihat sikap manja Amel yang tersenyum saat ia melihatnya.

Tapi kebahagian Amel terhenti, karena Dival dan gengnya yang sengaja berjalan di tengah-tengah kedua insan itu. Menabrakkan diri sampai pelukan Amel terputus dan memisahkannya dari Johan saat di persimpangan yang memisahkan jalan mereka karena arah kelas yang berbeda.

"Kalian apaan, sih?" sungut Amel, namun ditanggapi datar oleh Dival dan lainnya.

"Emang kenapa?" seru Lakki.

"Kalian gak liat, ada orang di sini?"

"Oh," cetus Dival. "Emangnya kamu orang? Soalnya orang yang aku lihat cuma Johan doang."

Suara tawa teman-temannya Dival pun terdengar, tidak kencang tapi bisa membuat Amel menjadi kesal.

"Guy's ... pliss, stop it," ucap Johan yang mendengus jengah.

"Stop ganggu dia," sambungnya.

"Siapa juga yang ganggu," seru Jeno. "Justru kalian yang mengganggu akses jalan di sini. Pakai acara gandengan tangan segala lagi, cih," herdiknya yang membuang muka.

"Emang kenapa? Lo gak suka? Bilang aja lo iri. Lagian jalanan ini lebar kok, emang dasar kalian aja yang pengganggu," cerca Amel.

Selagi mereka bertengkar, di depan sekolah sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi. Saat mesin mati, keluarlah Naya yang kemudian menunggu Delia keluar dari dalam mobil juga.

"Naya, aku titip Delia ke kamu, ya. Soalnya cuma kamu yang tau seperti apa kondisi Delia saat ini," ujar Arnold dari dalam mobil.

Naya mengangguk, "Iya, Kak."

"Kalau ada apa-apa, kamu hubungi saja aku."

"Iya, Kak. Kakak tenang saja, aku akan jaga Delia."

Arnold tersenyum, lalu ia beralih pada Delia. "Kakak pergi dulu, ya. Belajar yang rajin," ucapnya berbahasa isyarat, dan dibalas anggukan senyum manis gadis itu.

Merasa semuanya sudah baik-baik saja, Arnold pun pergi. Begitu pun dengan Naya dan Delia yang memasuki gedung sekolah. Sepanjang lorong sekolah mereka berdua hanya diam, Delia menatap lurus ke depan sedangkan Naya merasa gugup untuk membuka suara karena mengingat perbuatannya dulu.

Melirik gadis di sampingnya, ingin sekali Naya mengatakan ungkapan maafnya untuk gadis itu. Namun, saat ia ingin mengutarakannya hal itu terhenti karena suara pertengkaran dari geng Dival dan Amel.

"Itu ada apaan sih? Kok rame banget," ujar Keyla dari depan kelasnya.

"Tau," seru Marta. "Liat, yuk." Keyla mengangguk dan mereka pun menghampiri kerumunan tersebut.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang