STD. 3

1.6K 70 56
                                    

Jika sudah mampir, jangan lupa untuk follow dan vomen ya....



Tok ....
Tok ....
Tok ....

Delia mengetuk sebuah pintu kamar yang tidak jauh dari dapur. Karena tidak ada yang menyahut, Delia pun kembali mengetuk. Sedangkan didalam kamar, seorang wanita berumur 24 tahun, sedang menyetrika pakaian.

"Siapa sih, yang mengetuk pintu? Ganggu orang kerja saja," dengus wanita itu, yang bernama Rita. Seorang asisten rumah tangga, dan juga pengasuh dari Delia.

"Iya, sebentar!" teriak Rita dari dalam kamar. Saat pintu dibuka, hal pertama yang dilihatnya adalah Delia yang tertunduk sedih.

"Eh, Non Delia. Sudah pulang? Bagaimana saat di sana? Semua baik-baik saja, kan?" tanya Rita. Tapi Delia sama sekali tidak menjawab. Melainkan langsung memeluk Rita dan menangis sejadi-jadinya.

"Loh, Non Delia kenapa? Kok nangis? Ada yang sakit? Dimana? Kasih tahu Kak Rita?" tanya Rita bertubi-tubi. Sedangkan Delia terus menangis didalam dekapan Rita.

Rita yang tidak tega dengan isakan dari Delia pun menggendong tubuh mungil itu, dan membawanya ke kamar milik Delia yang tidak jauh dari kamarnya berada.

Lima tahun bekerja di rumah itu, adalah hal biasa bagi Rita yang harus menyaksikan kejadian demi kejadian yang berada di dalam rumah itu. Termasuk dimana dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan perlakuan Arin terhadap Delia.

Rita yang sebagai pengasuh dari Delia sejak bayi saja tidak habis pikir. Kenapa ada seorang ibu yang tega membeda-bedakan bahkan membenci anaknya sendiri hanya karna ia tidak bisa bicara? Padahal, semua anak itu sama saja. Tidak ada yang berbeda.

Tidak jarang, Rita juga ikut menangis saat melihat Delia yang menangis sendiri dalam diam, karena perlakuan dari sang ibu dan juga saudari kembarnya sendiri. Dan tidak jarang juga, Rita melawan. Jika Arin sudah keterlaluan terhadap Delia. Dia tidak perduli jika gajinya dipotong atau bahkan tidak dibayar sedikitpun. Asalkan dia bisa menyelamatkan Delia dari amukan Arin.

Sungguh, Rita sama sekali tidak tahu apa yang ada dipikiran Arin? Kenapa dia begitu tega menyiksa anak sekecil Delia? Apa salahnya?

Sering sekali, Arin memarahi Deli tanpa sebab. Entah apa salahnya? Jika adapun, itu hanyalah kesalahan kecil dan tidak disengaja. Tapi, kenapa Arin harus menyakiti Delia dengan kata-kata yang bahkan tidak harus dikatakan dan didengar oleh anak itu.

Jika saja yang melakukan kesalahan itu Amel, maka Arin akan melakukan hal yang sebaliknya. Dia akan berkata lembut dan penuh dengan kasih sayang. Sangat diperhatikan dan dimanja. Sungguh berbanding terbalik 180° dengan Delia.

Akan tetapi, untung saja sang ayah tidak begitu. Dia begitu sayang dan perduli pada Delia. Bahkan, dia sama sekali tidak membeda- bedakan antara Delia dan Amel. Begitupun dengan kakak lelakinya, Arnold. Meskipun bisa dibilang, Arnold lebih sayang kepada Delia ketimbang Amel.

Tapi bagaimanapun juga, Arnold tetap sayang pada kedua adik kembarnya itu. Meskipun rasa sayangnya terhadap Amel tidak sebesar pada Delia.

Rita yang sudah berada didalam kamarnya Delia yang di dominasi warna biru muda itupun duduk di atas tempat tidur, sambil mengusap surai Delia yang lembut dan wangi.

"Delia kenapa? Cerita dong sama Kak Rita," ucap Rita yang terus mengusap lembut kepala itu.

Meskipun Delia tidak bisa berbicara, setidaknya dia sudah mampu dan bisa menggunakan bahasa isyarat dan alat bantu untuk mempermudahnya dalam berkomunikasi.

Dengan wajah yang berlinang air mata dan juga masih sesugukan, Delia pun mulai menggerakkan kedua tangannya.

"Apakah benar, kalau aku anak pembawa masalah, Kak Rita?" tanya Delia menggunakan bahasa isyarat.

Rita yang mengerti maksud dari Delia pun langsung menggeleng cepat. "Gak, itu tidak benar. Siapa yang mengatakan itu padamu?" tanya Rita. Dan Delia pun menunjuk pada sebuah foto, yang dimana terdapat dirinya dan Amel saat umur dua tahun.

"Amel yang mengatakan itu?" dan Delia pun mengangguk.

Rita pun menghela nafas panjang. Ini adalah yang kesekian kalinya Amel membuat Delia menangis karena perbuatannya.

Di dudukkannya Delia di atas kasur, dan kemudian Rita pun duduk dihadapan Delia yang menunduk.

"Delia ... Sayang," panggil Rita lembut, membuat sang empu yang dipanggil mendongakkan kepalanya.

"Jangan dengarkan omongan dari Amel, ya. Karena apa yang dikatakan oleh dia itu tidak benar. Kamu tidak usah terlalu memikirkan apa yang dikatakan olehnya, Karena semua itu bohong. Jangan didengarkan, oke?" terang Rita yang tersenyum, membuat Delia juga ikut tersenyum walau hatinya masih terasa sesak.

Dengan senyum lirih, Delia pun mengangguk. Mengiyakan perkataan dari pengasuhnya itu. Banyak sebenarnya yang ingin Delia ceritakan pada Rita, tapi apalah daya. Kekurangan yang ia miliki, menghambat segalanya. Dan terpaksa ia pun memendamnya sendiri.

'Amel benci Delia.'

Kembali, kalimat itu dia ingat. Membuat rasa sesak dan sakit hatinya muncul. Dan matanya kini mulai memanas, hendak mengeluarkan buliran bening dari pelupuk matanya yang indah.

Segera Delia pun membaringkan dirinya di atas kasur dan menarik selimutnya sampai hampir menutupi seluruh tubuhnya. Dia melakukan hal itu agar Rita tidak melihat kalau ia kembali menangis di balik selimut.

Rita yang mengira kalau Delia sudah mengantuk dan ingin tidurpun, menemaninya sebentar sampai ia benar-benar tertidur.

Dirasa Delia sudah tertidur pulas, dengan perlahan Rita pun turun dari tempat tidur. Tidak lupa sebelum keluar kamar, Rita menyempatkan diri untuk mencium pucuk surai Delia. Setelah itu, ia pun keluar dari dalam kamar.

Sunyi dan sepi. Itulah yang dirasakan oleh Delia didalam kamarnya. Sunyi seperti kehidupannya dan sepi seperti hatinya. Walaupun banyak orang yang berada di sekitarnya. Tapi tetap saja, dia merasa sunyi bahkan terasingkan. Begitupun dengan hatinya yang sepi karena kekurangan kasih sayang dan perhatian dari keluarganya.

'Kekurangan itu yang menjadi masalah, Mas!'

'Aku malu, Mas! Malu!'

'Dasar anak pembawa masalah. Amel benci Delia!'

Kalimat-kalimat yang sangat menyakitkan hati Delia. Membuat mata indah itu kembali mengeluarkan air matanya.

Ingin sekali ia berteriak dan menjerit pada alam semesta, untuk mengatakan betapa sakitnya hati kecil itu. Menjerit sepuasnya sampai rasa sakit dan sesak itu menghilang. Atau tidak berkurang sedikit.

Tapi percuma saja, itu tidak mungkin bisa ia lakukan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dalam diam tanpa ada yang tahu.

Kamar tidur miliknya adalah saksi dari kepedihan yang dirasakan oleh Delia. Dimana ia meringkuk sedih sambil menangis menahan rasa sakit di dalam hatinya.

Bersambung ....


Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang