STD. 37

497 20 4
                                    

Dear diary

Untuk Tuhan

Kenapa setiap kali aku ingin bahagia, Kau pasti selalu merenggut kebahagiaanku? Kenapa, Tuhan?

Baru kemarin aku merasa bahagia karena sahabatku, telah kembali. Tapi sekarang Kau malah membuatku juga kembali dalam penderitaan.

Aku sakit, Tuhan. Sangat sakit menghadapi penderitaan yang menyiksa ini. Jujur, aku tidak sanggup. Aku juga ingin bahagia. Aku ingin tertawa. Aku ingin cinta. Aku ingin keluargaku, mama dan Amel menyayangiku dan mencintaiku. Bukan penderitaan, tapi cinta, Tuhan. Cinta keluarga.

Tulis Delia yang terhenti karena tidak sanggup lagi untuk meneruskan tulisan tersebut. Dadanya terasa sesak kembali jika mengingat keadaan yang sangat tidak beruntung untuknya.

Bahkan setiap tulisan tersebut terdapat tetesan air matanya yang pilu jatuh membasahi kertas di buku itu. Tangan kecil yang sedikit pucat itu terus bergetar, hingga membuat sang empu tidak mampu lagi untuk melanjutkan tulisannya.

'Jika aku tidak berbeda, pasti semua ini tidak akan terjadi.' batinnya yang menangis.

'Ayah pasti masih hidup, dan aku juga akan bahagia seperti anak lainnya.'

Duduk bersandar pada tumpukan barang, kepala Delia pun mendongak ke atas menatap langit-langit gudang yang berlubang. Mata yang sembab dan sayu itu sekali lagi mengeluarkan buliran air yang membasahi pipi.

Pandangannya kosong menatap cahaya-cahaya kecil yang masuk dari atap yang berlubang, sedangkan pikirannya sudah bergerilya ke mana-mana. Tapi satu yang pasti, ia sangat merindukan sosok-sosok yang selalu ada waktunya dulu.

"Ayah ... kapan kita bisa bertemu? Aku rindu sama ayah. Setidaknya datanglah dalam mimpiku, yah. Untukku melepas rindu."

Setelah mengatakan itu, rasa sakit di kepalanya kembali menyerang. Disusul dengan dirinya yang mimisan. Sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan rasa sakit yang belakangan ini cukup sering ia rasakan.

Sedangkan di sisi lain, Amel yang tengah belajar di kelas tiba-tiba saja merasakan pusing di kepalanya. Membuatnya menjadi tidak fokus dalam belajar.

"Mel? Lo gak apa-apa?" tanya Keyla saat melihat raut wajah gadis itu yang pucat.

"Kepala gua tiba-tiba pusing nih," ujar Amel sembari memegangi kepalanya.

"Ya udah, kita kantin aja. Dari pada lo kenapa-kenapa."

"Udah-udah, gak usah ... kepala gua udah mendingan kok pusingnya," cetus Amel saat merasa pusingnya sedikit mereda.

"Lo yakin? Entar lo tiba-tiba pingsan bagaimana?" khawatir Keyla.

"Gak ... udah, lo tenang aja, ya," ucap Amel seraya tersenyum. Keyla pun hanya bisa mengangguk saja.

Amel pun mencoba kembali memfokuskan dirinya memperhatikan pembelajaran, tapi pikirannya tidak bisa diajak kerja sama.

"Kok gua tiba-tiba bisa pusing gitu, ya?" batinnya yang masih merasa bingung pada dirinya sendiri.

"Mungkin gua lagi stres aja, gegara nih pelajaran matematika."

Hari yang semakin siang, Rini yang sudah beberes dari pagi pun telah selesai. Bahkan ia juga sudah selesai memasak untuk makan siang majikannya. Meskipun begitu, ia tidak lupa menyisihkan sedikit makanan untuk Delia yang masih terkurung.

"Sebaiknya aku beri sekarang, sebelum mereka pulang," cetus Rini.

Setelah semua ia siapkan, dari nasi dan lauk-pauk juga minumnya, tiba-tiba saja Arin pulang dan tidak sengaja melihat Rini yang tengah membawa sepiring makanan.

Surat Terakhir Delia ( on going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang