Eits, sudah buka mushafnya hari ini???
Selamat membaca
Tidak ada yang keliru dengan perasaan cinta. Hanya saja mungkin tidak tepat menempatkan di mana cinta itu harus dilabuhkan. Meski dengan berat hati, Orin harus bisa merelakan apa yang telah menjadi jalan takdirnya. Menatap masa depannya meski harus dengan perjuangan yang tidak mudah.
Memutuskan untuk bersikap wajar. Meski beberapa kali menemui tatapan aneh dari para santri. Yang ada dalam otak Orin hanya ingin menebus semua kesalahan yang membuat keluarganya menanggung malu.
"Mbak Orin sudah sehat?" tanya seorang khadimah yang setiap pagi membantu di rumah Orin.
"Alhamdulillah sudah, Mbak Irma."
"Walaupun sudah sehat biarlah pekerjaan itu kami yang mengerjakan, Mbak," Irma menarik sapu yang ada di tangan Orin dengan lembut.
"Jangan, Mbak. aku ingin berkegiatan seperti yang lain." Orin menarik lagi sapu yang sudah berpindah tangan.
"Tapi ini pekerjaan khadimah seperti kami, Mbak Orin. Nanti kalau Abi atau Umi tahu, kami yang salah." Orin tersenyum. Meski sebagai 'Ning' di pesantren yang dikelola abinya, Orin tidak pernah menempatkan diri sebagai seorang Ning yang harus diistimewakan. Itu sebabnya dia juga enggan dipanggil dengan sebutan kehormatan itu layaknya kedua kakaknya yang selalu dipanggil 'Gus' oleh para santri.
Di tengah 'rebutan' pekerjaan antara ning dan khadimah itu, tiba-tiba datang seorang khadimah lain dengan berlari kecil mendekati mereka.
"Sinta, sudah berapa kali Mbak ingatkan kepadamu, perempuan itu dilarang berlarian di area pesantren. Nanti kena takzir baru tahu rasanya loh."
"Maaf Mbak Irma, aku mencari-cari Mbak Orin loh sedari tadi ternyata ada di sini bersama Mbak Irma."
"Ada apa Sinta, kamu mencariku?" tanya Orin sambil memberikan segelas air minum untuk Sinta.
"Mbak Orin, tadi Abi, Umi, Gus Auf, Gus Zaid dan istri mereka sedang berkumpul di kantor. Tanpa sengaja saya mendengar kalau Gus Auf meminta Abi untuk mengirimkan Mbak Orin kembali ke Mesir guna melanjutkan sekolah di sana. Gus Zaid juga mengaminkan."
Orin tersenyum mendengar berita yang dibawa Sinta. Dia sudah pasrah, tidak ingin membantah kedua orang tuanya tetapi jika diminta untuk memilih, Orin masih memendam inginnya belajar ilmu manajemen dan administrasi perusahaan.
"Aku pasrah, Sin. Ikut saja keputusan Abi." Irma yang sedari tadi diam mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan lagi tapi sayangnya Sinta tidak memahami.
"Iya Mbak Rin, siapa tahu nanti Allah pertemukan pengganti Mas Jimmy yang lebih baik di Mesir," kata Sinta yang disambut senyuman samar dari bibir Orin.
"Sinta, sudah, kamu kembali belajar sana. Santri kok sukanya nguping pembicaraan orang. Nggak baik itu, dosanya sama seperti mencuri." Orin justru tertawa melihat Sinta yang kecewa mendengar teguran dari Irma.
Setelah ketiganya berbincang, Orin memilih untuk menemui orang tuanya. Ada hal yang ingin dia bicarakan terkait dengan kuliah pascasarjana.
"Ada apa, Cah ayu?" tanya Umi Nur yang kini hanya duduk berdua dengan Abi Maheer di ruangan yang dikatakan Sinta.
"Sebelumnya Orin mau minta maaf jika harus membicarakan ini kepada Abi dan Umi," kata Orin mengawali perbincangan mereka sembari menyerahkan sebuah amplop kepada orang tuanya.
"Di awal rencana pernikahan Orin kemarin, sebenarnya Jimmy berjanji untuk mengabulkan permintaan Orin supaya bisa melanjutkan pascasarjana. Orin kemudian berusaha untuk bisa menjadi salah satu mahasiswa yang menerima beasiswa LPDP dan Melbourne menjadi tujuan Orin mengambil kuliah di Monashy University."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya SYDNEY [Terbit]
RomanceTidaklah mudah menjalaninya, sebagai kaum minoritas di tengah lautan kegalauan setelah semua harapan dipatahkan oleh pengkhianatan. Berada jauh dari orang tua dengan hati yang tercabik-cabik setelah gagalnya pernikahan yang dibatalkan sepihak setela...