01 💍 Sidang Keluarga

1.3K 350 26
                                    

Sudah buka dan baca mushaf belum hari ini? 😍😍
Ballighu 'anni walau ayah - HR. Bukhari. Semoga tulisan ini memberikan manfaat.

Selamat membaca.

ORIN masih duduk di depan keluarganya. Menerima nasihat walau dengan hati berat. Menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas rasa malu yang kini harus ditanggung kedua orang tuanya. Dari awal mereka sudah mengatakan bahwa tidak akan mudah berjalan dengan perbedaan akidah, tetapi Orin yakin atas pilihannya. Sekarang, setelah apa yang dikhawatirkan kedua kakak dan abinya terjadi, tidak ada satu kata pun yang terucap untuk membela diri.

"Dari awal Abang sudah bilang. Tapi kamu tidak pernah mendengarkan. Kamu pikir mudah? Kalian bisa berteman tetapi tidak dalam satu tujuan dalam pegangan hidup," kata Aufar.

"Imam, Dik. Jalan surgamu, mengapa harus menggadaikan hati pada sesuatu yang tidak pasti? Padahal Abi sudah memilihkan calon suami yang jauh lebih pantas bersanding denganmu dibandingkan dia. Tapi kamu menolak dengan alasan klasik, tidak suka," tambah Zaid.

"Sudah, adikmu ini sedang sedih. Jangan ditambah lagi dengan menyalahkan keputusannya."

"Selalu saja. Abi selalu membela anak bungsu ini!" kata Aufar tidak setuju.

"Jauh-jauh Abi kuliahkan di Mesir, harusnya dia bisa mengerti bahwa perbedaan akidah itu terlalu berisiko. Temannya dari Mesir kan banyak, santri Abi juga ratusan. Mengapa harus memilih laki-laki yang justru mempermalukan Abi di hadapan para undangan?" tambah Aufar.

"Aku juga tidak pernah menyangka, Jimmy akan berbuat setega itu menikamku dari belakang, Bang Auf," kata Orin lirih. Air matanya sudah tidak lagi mampu ditahan.

"Aufar, sudah! Abi bilang, sudah! Harusnya sebagai anak terbesar kamu lebih bijak menyikapi masalah ini."

"Bi, apa Dik Orin tidak berpikir sebelumnya? Yang sama saja banyak sekali perbedaan terlebih dengan yang jelas berbeda di depan mata. Dari awal aku memang sudah tidak setuju dengan keinginan Dik Orin menikahi Jimmy. Dia baik, sopan, santun tetapi ada hal yang tidak bisa kita samakan," kata Zaid.

"Zaid, Abang kalian sudah diam mengapa jadi kamu yang menambahi kerumitan ini?"

"Tapi Bi, kami tidak terima dengan omongan masyarakat yang merendahkan Abi tidak bisa mendidik kami dengan benar. Sampai-sampai putri Abi sendiri salah memilih calon suami. Kami takut akan memberikan pengaruh yang buruk untuk pesantren, Bi."

Tidak ada jawaban untuk menyangkal ucapan Zaid. Dengan adanya peristiwa pembatalan akad nikah sepihak calon menantu Abi Maheer yang sedianya akan dilaksanakan di pesantren dengan alasan perbedaan akidah, tentu saja membangun paradigma negatif di masyarakat. Seolah-olah segala kebaikan yang selalu dilakukan oleh keluarga Maheer Elhaq terhapuskan hanya dengan satu kesalahan yang dianggap sangat fatal.

Orin menautkan seluruh jemari tangannya. Dia sudah tidak tahan lagi melihat kedua kakak dan abinya bersitegang karena masalah yang dia buat. Jika tahu begini endingnya, Orin memilih melanjutkan sekolahnya tanpa harus berpikir untuk segera menikah.

"Benar, Bi. Apa yang diucapkan Bang Aufar dan Kak Zaid adalah kebenaran. Orin telah mencorengkan arang di wajah Abi dan keluarga. Tapi wallahi, tidak ada niat sedikit pun di hati Orin untuk mendatangkan masalah itu." Dengan suara bergetar akhirnya Orin bersuara.

"Maaf--" setelah itu Orin tidak lagi mampu merangkai kata kembali. Hatinya teramat sakit untuk mengingat apa yang terjadi satu minggu ke belakang ini di rumahnya.

Air mata yang kembali menetes membuat kekuatannya meluruh hingga dia tidak lagi memiliki muka untuk tetap berada di ruang keluarga dengan tatapan penuh penghakiman.

"Orin ke kamar dulu, Bi. Maaf untuk semuanya."

"Tetap di tempatmu, Dik!" kata Aufar.

Abi Maheer berdiri lalu mengusap pundak Orin yang hendak meninggalkan ruangan.

"Duduklah dulu, Abi ingin bicara." Orin menurut. Semua yang ada di ruangan tahu jika orang paling kharismatik di antara mereka sudah berbicara dengan nada seperti itu tidak ada yang berani membantah.

"Rin, Abi tidak pernah meminta banyak hal kepada anak-anak Abi. Terutama kamu, sebagai anak perempuan Abi satu-satunya yang sangat Abi cintai." Orin menatap mata abinya meski masih dengan pandangan mengabur karena air matanya belum kering sepenuhnya.

"Orin juga mencintai Abi," kata Orin lirih bahkan nyaris tak terdengar.

"Jika anak-anak Abi sakit, jelas Abi lah orang yang paling merasakan kesakitan itu. Kamu tidak perlu bersedih, jadikan semua ini pelajaran yang sangat berharga. Yang paling penting tetap menjaga dan memegang teguh tali keimanan. Abi tahu kamu bisa membedakan mana yang baik dan tidak untuk hidupmu."

"Bi--" suara Orin tercekat.

Orin sudah menyiapkan hati untuk menerima amarah dari abinya, tetapi dia salah perhitungan. Abi Maheer hanya menepuk bahunya lalu mengajak semua pergi meninggalkannya duduk sendiri di ruang keluarga. Sikap yang diberikan abinya justru membuat rasa bersalah Orin semakin besar, terlebih tatapan menuntut dari kedua kakaknya.

Tangis Orin pecah meski tanpa suara. Pilu yang semakin membiru manakala tahu, orang yang sangat dia harapkan membantunya bicara justru memilih diam. Wanita yang melahirkannya ke dunia bahkan tidak memberikan suara sedikit pun ketika kedua kakaknya menyudutkan dirinya atas masalah baru yang terjadi di pesantren.

Beberapa santri dijemput paksa oleh orang tua mereka karena menganggap kiai pengasuh pesantren tidak memiliki kapabilitas yang baik. Buktinya, anaknya sendiri dibiarkan hampir terjerumus dengan pernikahan beda akidah yang jelas tidak sah menurut Islam dan terhitung sebagai tindakan zina seumur hidup apabila itu terjadi.

"Rin, dari awal semua sudah bilang bahwa kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan nantinya. Tapi Jimmy bisa meyakinkanmu dengan memilih untuk mengalah. Namun, kamu sendiri tahu seperti apa taatnya Jimmy dalam kehidupan peribadatannya. Lalu harus menerima hal baru yang mungkin bertentangan dengan apa yang sedari kecil dia yakini sebagai kebenaran. Itu tidak akan mudah baginya." Orin hanya diam ketika Dewi memberikan pendapatnya saat dia berkunjung untuk mengetahui kondisi sepupu sekaligus sahabatnya setelah pembatalan acara akad nikahnya dengan Jimmy.

"Apa sih Rin yang membuatmu memilih Jimmy? Bukankah seorang imam itu harusnya dipilih karena agamanya?" Orin menatap Dewi tajam. Dia lebih butuh ketenangan daripada mendengarkan nasihat yang terkesan seperti menghakiminya.

Orin tidak pernah pacaran dengan Jimmy, dari SMA mereka sudah saling mengenal. Banyak melakukan interaksi juga melalui group komunikasi alumni. Mereka akrab karena sama-sama masuk dalam satu tim yang sama di banyak kegiatan yang diadakan sekolah. Hingga akhirnya rasa itu tumbuh meski tanpa harus disuarakan. Sampai pada akhirnya waktu menjawab pertanyaan hati Orin saat Jimmy maju mendekat dan mengutarakan inginnya.

Setelah melalui banyak perbincangan dan kesepakatan akhirnya Orin menyampaikan kepada orang tuanya. Walau abinya terkesan tidak setuju tetapi Orin berusaha untuk meyakinkan kedua orang tua dan kakaknya. Sampai akhirnya semua berbuah pengkhianatan tepat sebelum akad nikah dilaksanakan.

"Tidak perlu disedihkan, Rin. Harusnya kamu bersyukur tidak jadi menikah dengan Jimmy. Dia baik, tetapi kalau dalam akidah tidak, untuk apa ditangisi, Rin?" Orin menggelengkan kepala sebelum akhirnya tangan kanannya menunjuk pintu kamar bersamaan dengan bibirnya bergetar untuk berkata.

"Keluar, Dew!" Dewi tersentak tak percaya dengan apa yang dia dengar saat ini. Orin menatapnya dengan wajah menahan amarah.

"Aku tidak perlu mengulangnya lagi, kan, Dew?"

Sepeninggal Dewi, Orin kembali menangisi perjalanan kisah hidupnya. Merenungi apa yang salah dengan niatnya ingin mengislamkan seseorang dalam ikatan pernikahan? Bukankah mengajak seseorang menjadi mukmin itu dijanjikan akan diganjar pahala yang luar biasa oleh Allah? Lalu mengapa seolah semua salah ada di pundaknya? Mengapa tidak menyalahkan Jimmy yang tidak bertanggung jawab atas pilihannya?

Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam otak Orin hingga kata lelah bergelayung di tubuhnya. Tak lagi bisa menahan semuanya, tubuh Orin tersungkur di balkon kamar tidurnya. Yang dia ingat hanya gelap dan gulita, hingga hari berganti tak lagi mampu melihat sapaan sang mentari.

klik next --->>

Cahaya SYDNEY [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang