09 💍 Takbir Dalam Renungan

1K 311 41
                                    

Seminggu berada di rumah sakit, kesehatan Orin semakin membaik. Dia sudah mulai bisa duduk sendiri walau untuk berpindah tempat masih memerlukan kursi roda, karena kondisi kakinya. Rasa nyeri perlahan mulai menghilang. Luka-luka yang lain pun berangsur mengering.

Seperti janji Ustazah Hanum, setiap hari selalu bergantian santriwati yang menjaga Orin di rumah sakit. Tapi ada satu orang yang selalu datang setiap hari meski tidak menunggu Orin sampai berganti hari. 

Dia adalah Urmila Khadafi, gadis cantik bermata biru yang bertemu dengan Orin pertama kali di Al-Manshurin. Gadis blesteran Indonesia Australia menjadi dekat dengan Orin ketika diajak sang ibu membesuk di rumah sakit.

Sejak saat itu, Urmila menjadi rutin menemani Orin walau dia hanya ingin bercerita apa yang dilakukannya seharian ini di pondok cabe rawit menjelang Idul Fitri tiba.

"Kak Orin, tadi Mila dengar kata dokter, katanya besok Kak Orin sudah diperbolehkan pulang. Idul fitri bersama kami saja, Kak. Jangan pulang ke Melbourne dulu." Orin tersenyum lebar. Keberadaan gadis cantik itu sangat menghibur hatinya.

"Benar kata Mila, Mbak Orin. Saya juga sudah mendapatkan izin dari daddy Mila jika Mbak Orin berkenan menginap di rumah kami," tambah ibunda Urmila.

"Jazakumullah, bersyukur sekali kepada Allah dipertemukan dengan saudara-saudara baru di Sydney. Tapi sepertinya Kakak ingin Idul Fitri di sini saja, Sayang," jawab Orin sambil memandang Urmila yang terkejut mendengar jawabannya.

"Mengapa?" Orin memutar bola matanya untuk mencari jawaban yang tepat.

Sesungguhnya, alasan terbesar selain tidak ingin merepotkan siapa pun, Orin ingin sedikit memberikan senyuman di hari yang harusnya membahagiakan untuk seorang ibu. Sayangnya dia masih merasa sangat sedih karena di hari ke tujuh ini putranya belum juga tersadar dari koma.

"Kak Orin tidak suka berada di rumah kami karena terlalu kecil?" Pertanyaan Urmila menyadarkan Orin dari lamunannya.

"Bukan begitu, Cantik. Kak Orin kan belum bisa berjalan sendiri. Nanti akan merepotkan Mila, mommy atau daddy kalau Kak Orin menginap di rumah Mila. Insya Allah, nanti kalau kaki Kak Orin bisa dipakai untuk berjalan, Kak Orin pasti akan berkunjung ke rumah Mila."

Urmila tersenyum menganggukkan kepala sambil mengarahkan jari kelingkingnya kepada Orin.

"Kak Orin janji ya, nanti kalau sembuh bermain di rumah Mila." Orin menyambut kelingking Urmila dan mereka berdua membuat janji layaknya dua orang sahabat.

Setelah ibunda Urmila menerima telepon yang mengharuskan mereka pulang, Orin kini hanya seorang diri berada di kamar sampai ketukan pintu yang terdengar membuat senyum Orin kembali hadir manakala wajah keibuan yang sedari tadi berputar dalam angannya.

"Bu Alyne, bagaimana kabar Matt?" Wanita berjilbab itu menggelengkan kepala lemah.

"Matt masih seperti kemarin. Belum ada perubahan yang berarti. Dia seperti mayat hidup yang bergantung pada alat-alat medis yang menempel di tubuhnya."

Orin meraih tangan yang terlihat mulai keriput ke atas pangkuannya. Memberikan kekuatan selayaknya seorang anak yang menghibur hati ibunya.

"Allah sedang menguji, seberapa sabar Ibu menerima musibah ini."

"Tapi saya bukan Rahmah binti Afratsim, istri Nabi Ayyub yang begitu sabar mendampinginya saat Allah menguji dangan penyakit kulit yang berkepanjangan."

Cahaya SYDNEY [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang