06 💍 Ramadan Kareem

1K 323 19
                                    

Mata Orin hampir saja terlepas dari tempatnya ketika melihat penampilan baru salah seorang teman satu flatnya. Tantri menghias kepalanya dengan kain penutup yang sama seperti yang Orin kenakan. Hanya beda kain yang dikenakan Orin lebih lebar dari kain yang dikenakan Tantri.

"Bantu aku berbenah ya, Rin. Aku tidak ingin kehilangan jati diriku sebagai seorang muslim meski kita hidup di sini sebagai kaum minoritas sebelum Allah memanggilku kembali." Orin menutup mulutnya karena terharu.

"Aku boleh memelukmu, Tan?" tanya Orin.

Kini keduanya saling memeluk dan bergenggaman tangan erat setelahnya.

"Apa yang harus aku lakukan untuk memulainya dari nol, Rin?" tanya Tantri ketika tangis mereka reda.

Orin menatap Tantri dalam-dalam, embusan angin seolah menjadi saksi saat suara Orin lirih bergetar, sepertinya keharuan masih menyelimuti perasaan gadis berusia seperempat abad itu.

"Sempurnakan wudumu, Tan. Setelah niat, segala amalan itu terletak pada kesempurnaan kita bersuci untuk menghadap Allah."

"Lalu?" tanya Tantri.

"Dua rakaat untuk taubat, Neng." Orin tersenyum lalu mengajak Tantri untuk ikut dengannya.

"Kita mau kemana, Rin?"

Orin tidak menjawab, hanya senyuman yang menghiasi bibirnya sampai sebuah taksi berhenti di depan mereka dan Tantri hanya menjadi pengikut tanpa perlu banyak tanya lagi. Yang pasti dalam hatinya yakin bahwa Orin tidak akan mengajaknya untuk berbuat maksiat.

"Turun yuk," kata Orin saat melihat Tantri yang masih asyik menikmati pemandangan dari dalam mobil sedangkan taksi yang mereka tumpangi sudah berhenti.

"Rin--" Orin mengangguk sebelum Tantri mengikutinya turun.

"Chambers Road Altona North, Victoria." Lirih Tantri mengucapkan alamat yang mereka tuju.

"Di sini komunitas muslim yang selalu membangun ukhuwah islamiyah. Setiap akhir pekan aku selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan mereka. Selain karena silaturahmi itu sunah juga untuk mengaji bersama di sini. Hitung-hitung menyirami kalbu dengan sentuhan rohani sebagai bekal kita di akhirat nanti."

"Tapi aku belum pernah dan belum mengenal mereka, Rin," kata Tantri.

"Nanti aku kenalkan, mereka banyak yang dari Indonesia kok, walau juga ada dari beberapa negara yang lain. Insya Allah, semua akan menyambut dengan baik."

Tantri duduk di sebelah Orin yang hanya diam memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh sahabatnya. Orin sedang menuliskan sesuatu di buku catatannya tentang beberapa nasihat pokok yang menjelaskan untuk persiapan seorang mukmin menjelang bulan Ramadan.

Ketika jam istirahat, barulah Orin memperkenalkan Tantri kepada teman-temannya di komunitas. Mendengar cerita dari Orin, mereka semua menyambut Tantri dengan tangan terbuka. Beberapa bahkan sudah mulai mengakrabkan diri dengan bertukar nomor telepon untuk memudahkan komunikasi.

"Bi, di Victoria yang dekat dengan tempat Orin juga ada mengapa harus ke Sydney?" kata Orin di telepon.

"Iya, Bi. Semoga tidak berbenturan dengan jadwal kuliah Orin ya. Mungkin, seandainya bisa pun hanya untuk melakukan iktikaf di sana. Kemarin Ustaz Mashurin juga sudah menyampaikan."

Orin tidak tahu, apa yang telah direncanakan abinya dengan Ustaz Emil. Padahal bulan kemarin dia sudah berjanji dalam hati tidak akan menginjakkan kakinya kembali ke Sydney. Tetapi sang abi memintanya untuk kembali ke sana. Mengisi bulan Ramadan di pondok kilat Al Manshurin.

"Abimu kenapa, Rin?" Tantri yang sudah selesai berbincang dengan teman-teman barunya duduk kembali di dekat Orin.

Mendengar pertanyaan Tantri, terbersit niat Orin untuk mengajak sahabatnya ini terbang ke Sydney. Menjalani puasa sekaligus memperdalam ilmu agama di sana bersama.

Cahaya SYDNEY [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang