A. Dibuang Sayang

1K 247 52
                                    

Sambil menunggu PO ya, biar kalian nggak lupa 🤭🤭

.
.
.

Seribu pesan disampaikan Umi Nur untuk Orin sebagai istri baru. Berbakti kepada suami dan tentunya harus mendukung semua perbuatan baik yang dilakukan suami untuk rumah tangga mereka.

"Pesan Umi banyak, tapi dari sekian banyak pesan itu adalah satu. Bakti dan taatmu kepada suami. Umi yakin, Abi tidak salah memilihkannya untukmu." Umi Nur membelai Orin yang memilih tertidur di pangkuannya.

"Rin bisa nggak ya, Mi, menjadi istri seperti Umi?" kata Orin pelan.

"Pasti bisa, Orin kan anak Umi. Jadi apa pun sikap Umi yang menurut kamu baik ya bisa ditiru," jawab Umi Nur.

Percakapan romantis keduanya mengundang pandangan seorang ayah dan menantu barunya untuk ikut bergabung. Kegiatan keduanya telah berakhir beberapa menit yang lalu. Achmad mengatakan, dia ingin pulang saja supaya segera menemui Orin karena seharian dia sudah sibuk di pesantren.

"Itu, Umi dan istrimu yang sedang manja, Mad," tunjuk Abi Maheer.

"Orin memang selalu manja jika berada di rumah, padahal yang Achmad kenal dia sangat mandiri, Abi," jawab Achmad.

"Seperti itulah, bimbing dia untuk menjadi istri yang baik," pesan Abi Maheer.

"Ingatkan Achmad juga untuk selalu menjadi suami yang baik buat Orin."

"Pasti, anakku." Senyum Abi Maheer tercipta. Dia mengajak Achmad berjalan cepat untuk sampai di rumah dan menyapa keduanya.

Saat Orin dan Umi Nur menyadari kedatangan mereka. Sontak dan tanpa aba-aba, Umi Nur dan Orin berhambur meraih tangan Abi Maheer untuk di cium. Sayangnya ketika Orin hendak melakukan itu, Abi Maheer menarik lengannya.

"Dulukan suamimu, Rin. Baru kemudian kepada Abi. Jangan terbalik." Senyum Abi Maheer mengembang.

Dengan langkah malu-malu Orin meraih tangan suaminya dan menciumnya perlahan. Meski masih terlihat kaku hingga menciptakan senyuman di wajah orang tuanya, Orin hanya bisa mendesah perlahan.

"Lama-lama nanti juga terbiasa. Wajar, karena kalian menikah tanpa melalui proses taaruf atau pacaran. Yah, walaupun Abi tahu kalian sudah saling mengenal sebelumnya." Abi Maheer mengusap kepala Orin yang masih terlihat malu-malu di samping suaminya.

Telling story, hal yang paling banyak dilakukan Acmad dan Orin di satu bulan pernikahan mereka. Menceritakan sedikit masa lalu, keterbukaan dan proyeksi harapan sebagai ukuran mau dibawa ke mana rumah tangga mereka. Setidaknya mereka berusaha menyamakan misi menuju satu visi yang sama.

Mata mereka beradu dalam sebuah titik pandang yang sama. Merebahkan badan sejajar, menghilangkan penat setelah seharian beraktivitas. Seolah ingin menumbuhkan perasaan cinta yang sudah semestinya mereka lakukan. Achmad membelai kepala Orin yang sudah tidak lagi mengenakan hijab jika mereka hanya tinggal berdua di kamar.

"Mengapa dulu Mas menerima tawaran Abi untuk menikah denganku? Padahal Mas Achmad belum tahu apakah aku menerima atau menolakmu," tanya Orin.

"Sebagaimana Allah menuntun langkahku sampai di pesantren ini, seperti itulah Allah menuntun hatiku untuk menerimamu." Achmad menatap Orin dengan senyuman yang memabukkan. Membuat mata Orin tak lagi mampu menangkis tatapan yang membuatnya terbuai jatuh tanpa syarat. Terlebih saat Achmad mulai menghilangkan jarak di antara mereka.

"Apa kamu kecewa pada akhirnya memiliki suami, seorang laki-laki yang hanya sepertiku?" tanya Achmad tepat di samping telinga Orin.

Seketika Orin menggeleng, siapa pun suami yang abinya pilihkan, ketika Allah menyatukan mereka dalam satu keimanan dan tujuan hidup yang sama, Orin tentu saja sangat berbahagia sama seperti santri-santri lain yang begitu bangga menerima takdirnya bersanding dengan seseorang atas pilihan orang nomor satu di pesantren ini.

"Dawuh Abi itu seperti mandat tak tertulis untuk santrinya, selama itu demi kebaikan. Kami sebagai santri tentu saja dengan ikhlas hati dan sukarela menerimanya. Mungkin juga Allah menyampaikan keberkahan hidup kita lewat campur tangan beliau," jawab Orin.

"Jadi sudah ikhlas menerima semuanya, baik burukku, semua masa laluku dan masa depan yang akan kita ukir bersama nanti?" tanya Achmad mengangkat sebelah alisnya.

"Allah juga yang telah menuntun hatiku untuk membuka semua hijab di hadapanmu, Mas. Masa lalu itu biarlah menjadi catatanmu, masa depan milik kita, kita usahakan bersama untuk melukisnya dengan banyak cinta dan kasih sayang. Meski tidak akan mudah, mungkin juga akan sulit tetapi bukan berarti tidak bisa kita lalui. Selama kita berdua saling bergenggaman tangan, saling mengingatkan dan terlebih saling mendoakan keselamatan pasangan. InsyaAllah, Allah akan memberikan solusi yang terbaik setiap masalah yang akan kita hadapi nanti."

"Ingatkan aku untuk selalu menjadi suami yang baik untukmu, dan ayah yang baik untuk anak-anak kita nanti,"  sambut Achmad.

"Anak?" tanya Orin dengan mata membola. Membuat senyum Achmad terbit yang menggiring Orin mengikuti pergerakan tubuhnya kembali duduk.

Tangan kiri Achmad mulai menengadah sementara tangan kanannya membelai ubun-ubun Orin. Dan doa sakral sepasang suami istri itu begitu merdu terdengar di telinga Orin sampai akhirnya bibir Orin menyebutkan kata amin diakhir kalimat doa Achmad.

"Istri harus taat suami, kan?" tanya Achmad yang dijawab anggukan Orin.

"Jadi, tidak salah jika suamimu ini meminta hak pertamanya--"

Bukannya menjawab, Orin memilih berinisiatif untuk membuka apa yang seharusnya dia perlihatkan kepada suami sebagai haknya. Akhirnya malam panjang itu menjadi saksi, meleburnya dua hati menjadi satu elegi dalam bahtera rumah tangga yang diimpikan Orin selam ini.

"Aku mencintaimu, Orinda Cyra." Letupan gairah itu tampak semakin nyata setelah Achmad memuntahkannya tepat di saat yang sama Orin ingin mengurai hasratnya.

"Aku juga mencintaimu, Ma---"

.
.
.
.

Udah nanti kalian kebanyakan halu pagi-pagi....namanya juga dibuang sayang 😂🤣🤭

Sehat-sehat ya gaessssss

Cahaya SYDNEY [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang