08 💍 Tangisan Ibu

1K 337 37
                                    

Musibah itu adalah bahasa lain dari cara Allah mengingatkan kita akan batas antara hidup dan hidup yang sesungguhnya di akhirat, kematian.

Ungkapan syukur tiada terkira. Cito terjadwal pagi ini membuat Orin tahu bagaimana keadaan kedua orang yang mengalami musibah sama dengannya. Dia adalah satu-satunya korban dengan luka teringan.

Setelah dia kembali ke kamar rawatnya, Ustazah Hanum bercerita, beliau baru saja bertemu dengan salah satu keluarga dari korban yang juga dijadwalkan operasi bersama-sama dengan jadwal operasi Orin.

"Beliau adalah seorang ibu," kata Ustazah Hanum.

"Itu artinya, korban yang menabrak taksi Orin, Us?" Ustazah Hanum mengangguk.

"Beberapa polisi juga sedang berjaga, sepertinya mereka meminta keterangan paramedis rentang kondisi korban untuk penyelesaian kasus kecelakaan yang menimpa kalian." Orin tidak mengerti bagaimana prosedur yang harus dia jalani selanjutnya. Yang jelas dia hanya bisa pasrah, menyerahkan semua urusannya kepada Allah.

Ketukan pintu kamar membuat percakapan antara Orin dan Ustazah Hanum terhenti. Keduanya saling berpandangan, tidak biasanya seorang paramedis harus menunggu lama di luar setelah mengetuk pintu seperti ini. Hingga Ustazah Hanum berjalan mendekati pintu lalu membukakan.

Seorang wanita paruh baya menjadi tamu mereka sore hari ini. Wanita yang sepertinya sudah mengenal Ustazah Hanum sebelumnya, karena mereka berinteraksi cukup hangat sebelum akhirnya menatap Orin dari jarak jauh.

Orin memberikan senyumnya ketika dia melihat langkah wanita paruh baya itu mendekati ranjang tempatnya berbaring.

"Atas nama anak saya, saya meminta maaf kepada Mbak Orin dan keluarga." Cukup terkejut, wanita bermata hazel itu cukup fasih berbahasa Indonesia meski dengan aksen British.

"Saya Alyne Mackenzie Achraf, ibu dari Matthew Achraf." Orin mengangguk menerima salam dari wanita yang menatapnya dengan air mata tertahan.

"Saya tidak tahu, mengapa anak saya mabuk malam itu hingga menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Demi Allah, Mbak Orin, Matt tidak pernah minum minuman beralkohol sebelumnya. Tapi entah apa yang terjadi malam itu padanya, padahal seharusnya hari ini dia harus terbang ke Melbourne untuk pekerjaan barunya di sana." Orin berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Tadi saya melihat, beberapa polisi akan menahan Matt karena tindakannya yang membahayakan dan hampir merenggut nyawa orang lain." Bu Alyne tidak sanggup lagi menahan air matanya untuk tidak jatuh di depan Orin.

"Mbak Orin, saya tahu Matt salah, tapi sebagai seorang ibu rasanya juga tidak tega hati melihat anak yang kini sedang berbaring tak berdaya, berjuang di antara hidup dan mati harus menerima hukuman." Suara yang terdengar begitu lembut itu tergetar di antara isak tangisnya.

"Matt adalah satu-satunya harta paling berharga yang saya miliki di dunia ini setelah ayahnya memutuskan untuk meninggalkan kami karena keputusan saya untuk menjadi seorang muslim."

"Innalillah, astagfirullah." Tangisan itu menular kepada Orin dan Ustazah Hanum seketika. Mereka bersama-sama mengeluarkan air mata mendengar cerita sedih yang menimpa Bu Alyne.

"Maaf, jika saya harus menceritakan semua ini. Setidaknya sebagai sesama mukmin, saya meminta kebesaran hati Mbak Orin untuk bersedia memberikan maaf kepada putra saya, Matthew. Supaya dia tidak terlalu berat menerima hukuman." Sepertinya Bu Alyne harus mengenyahkan rasa malu untuk memperoleh maaf dari Orin. Dia menyadari, putranya tidak akan terbebas dari jerat hukuman yang harus ditanggung tetapi setidaknya hukuman itu bisa menjadi ringan jika tidak ada tuntutan dari korban yang lain karena Bu Alyne yakin putranya tidak akan melakukan hal yang akan berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya juga merugikan orang lain. Pasti ada kesalahan yang belum dia ketahui di mana letak salah itu.

Cahaya SYDNEY [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang