"Kata Daddy, mustahil aku bisa punya buku kalau bukan karena Daddy yang bekerja keras." Celetukan spontan Pari sukses membuat Illiya menyipitkan mata, tersenyum amat lebar dari balik cadar. Entah Pari hanya bercerita tanpa tujuan atau memang karena anak itu paham ke mana arah obrolan si kembar, Illiya sangsi.
Rui berderap ke arah tong sampah dan membuang daun-daun kering di tangannya. Anak lelaki itu lantas bergegas mencuci tangan di kran sudut taman dan bergabung dengan yang lain. "Jadi maksudnya, kamu punya buku karena daddy kamu, bukan karena Tuhan?" tanyanya.
Pari mengangguk mantap, tak mengalihkan fokus sedikit pun. Jemarinya tetap asyik menari di atas kertas bergambar unicorn-nya.
Yang semula sadar adalah Kla, tetapi anak itu tak menunjukkan respons berarti, hanya mengangguk kecil.
"Semua ilmu memang milik Tuhan, Anak-anak. Namun, sebagai orang awam, kita membutuhkan orang lain sebagai perantara ilmu tersebut. Orang-orang dari Kerajaan Hirah barangkali adalah yang dipilih Allah sebagai perantara pada masanya. Mengakui mereka sebagai perantara bukan berarti kita membenarkan bahwa mereka pemilik ilmu, bukan?"
Rui berpikir keras. Dahinya bahkan sampai berkerut dalam memikirkan penjelasan Illiya.
"Sekarang Mama tanya sama kalian. Bagaimana wahyu Allah bisa sampai pada Rasulullah?"
Sra mendongak, menjawab setengah ragu, "Lewat Malaikat Jibril, kan?"
Anggukan kepala diberikan Illiya. "Dengan begitu, apa kita menyebut Jibril sebagai pemilik ilmu?"
Giliran Rui yang merespons, anak itu menggeleng kuat. "Kan Jibril cuma menyampaikan."
"Iya," balas Illiya, "sama saja dengan perkara yang kalian permasalahkan, bukan?"
Kla mengangguk lagi, kali ini lebih kentara dari sebelumnya. "Meski Nabi Idris adalah manusia pertama yang pandai menulis, bukan berarti kemampuan beliau muncul begitu saja tanpa kehendak Allah."
Syukurlah, anak-anaknya paham penjelasan yang ia berikan. Berkat Pari, juga Allah yang Maha Memahamkan.
-o0o-
"Ketika salat, kita harus menghadap ...." Selalu seperti itu jika Rui sedang ingin mengganggu dua adiknya, membaca soal dengan keras. Tak peduli pada kenyataan bahwa Sra tengah sibuk dengan bacaan draft cerita Illiya atau Kla yang sibuk bermain game di layar komputer. Bagi Rui, ia harus direspons.
Sementara Sra sempat menoleh ke arah Rui, Kla memilih tak acuh, meneruskan kegiatan menyenangkan itu. Toh, ia tahu Rui tak benar-benar bertanya. Anak itu hanya memancing dirinya dan Sra bicara.
"Apa jawabannya, Sra?" Rui sudah memutar kursi belajar, menatap Sra lekat. Pangkal alisnya pun ikut tertaut seakan dirinya benar-benar tak paham.
Tanpa berpikir, Sra membalas, "Kiblat."
Berhasil, musuh terakhir berhasil Kla kalahkan, terbukti dengan suara sorakan yang lolos dari bibir anak itu. Tak lama, ia mematikan komputer. Seperti peraturan yang diterapkan Illiya, jatahnya bermain game sehari hanya satu jam, tentu saja Kla sering mencuri waktu dan bermain diam-diam. Ia tak akan dengan mudah menurut.
Sembari ikut memutar kursi, Kla menimpali, "Depan."
Tawa Rui pecah. "Mana ada salat menghadap depan?" ejeknya.
"Terus, kalau kamu nggak ngadep depan, mau ngadep ke belakang?" Kla berdecih, ia tahu tentu saja. Selera humor mereka memang kadang sangat berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
SpiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...