19. Jangan Terlalu Jenius

45 12 2
                                    

Waktu sudah menginjak pukul sebelas malam saat Kla terbangun karena haus. Pemuda itu memutuskan untuk turun ke dapur guna membasahi kerongkongannya dengan segelas air dingin.

Masih dari pertengahan tangga, samar ia melihat seseorang tengah duduk sambil menyangga kepala di meja makan. Tak begitu jelas Rui atau Sra karena ia tak mengenakan kacamata, ditambah penerangan yang tak dinyalakan.

Sampai di depan kulkas, ia baru dapat melihat dengan jelas siapa saudaranya yang tampak berpikir keras itu. “Kebangun atau emang belum tidur?” tanya Kla.

Si target menoleh sekilas, terdengar embusan napas panjangnya lolos dari bibir. “Belum tidur.”

Kla menyusul duduk di kursi makan, meminum air mineral langsung dari botol. Tak apa, toh itu tumblr miliknya pribadi, bukan milik bersama kecuali Sra atau Rui dengan kurang ajar ikut meminum dari sana.

Usai meneguk cairan bening beberapa kali, Kla bertanya, “Kenapa?”

“Mikir proyek Sains. Susah ternyata.”

“Emang,” balas Kla cepat, “habis kamu sama Rui sama-sama nekat. Pilih topik yang out of your control, indeed.” (di luar kendalimu, sebenarnya)

“Aku milih topik ini juga nggak asal, Kla. Aku punya banyak pertimbangan sebelumnya,” jawabnya tak terima.

Kla terkekeh, lantas mengusap wajah kasar agar kantuknya menipis. “Pertimbangan kamu bahkan sampai buat Pak Yus mikir berulang kali kata Rui. Sampai mau didatengin mentor khusus, padahal ada Kak Faqih.”

“Bukan salahku kalau topik yang aku ambil di luar kemampuan Kak Faqih.” Sekali lagi Sra memprotes.

“Dan di luar kemampuan kamu juga.” Kla tak mau kalah. Ucapannya sukses membuat Sra mencebikkan bibir. “Mau buat percobaan reaksi fusi nuklir sendiri, mau nyaingin Thiago Olson?”

Mata Sra membulat, tak menyangka Kla juga tahu tokoh yang satu itu. Memang, ia terinspirasi dari Thiago David Olson dalam pengambilan topik itu. Thiago Olson berhasil melakukan percobaan serupa di usianya yang saat itu baru 17 tahun.

“Kamu tahu Thiago Olson?” tanya Sra dengan kening berkerut.

“Nggak sampai Rui nyeritain kegilaan kalian berdua di proyek Sains ini. Dia juga terinspirasi dari salah satu tokoh, tapi aku lupa namanya,” jawab Kla tak acuh, tak ingin lebih jauh membahas tokoh yang entah siapa itu, tak penting baginya. “Lagian untuk apa sih, kalian seambisius ini? Maksudku, kalian hanya menyusahkan diri sendiri, dan … untuk kasus Rui, menyusahkan aku juga.”

Mata Sra memicing, ia tahu di antara ketiganya, Kla yang paling santai. Tak pernah anak itu menunjukkan ambisi tertentu, belajar pun paling malas. Andai ia dan Rui tak selalu merecokinya, pasti Kla tak akan mau belajar. Meskipun, terlihat juga hasilnya dari ranking 1 yang diperoleh saudaranya itu.

“Kamu tahu sendiri Rui ingin melanjutkan ke MIT.”

Kla mengedikkan bahu tak acuh.

“Penelitian ini bisa sangat membantunya,” lanjut Sra.

“Dan kamu … Antropologi nggak ada kaitannya sama penelitian reaksi fusi nuklir, Eichi Sra. Maksudku, kalian terlalu memaksakan diri, memaksakan belajar iya, kan? Untuk apa? Biar jadi anak genius?”

Sungguh, Sra tak tersinggung sama sekali, berbeda dari setahun lalu saat Kla mencibirnya untuk pertama kali perihal mimpinya melanjutkan Antropologi. Lagipula, belajar itu menyenangkan baginya, apa yang salah?

“Jadi anak pintar banyak manfaatnya,” balas Sra tak peduli.

“Nikola Tesla, Voltaire, Isaac Newton, bahkan Al Ghazali. Mereka semua jenius, tapi nggak menikah. Kamu mau kayak mereka? Nggak menikah sampai mati.”

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang