“Iya-iya, maaf.” Gadis bongsor itu mengambil langkah mundur, setelahnya melanjutkan, “Rui mana?”
“Change his clothes,” balas Kla singkat, lantas kembali duduk dan menghadap komputer yang sudah menyala sempurna. Pemuda itu langsung membuka sebuah file. (Ganti baju)
“Langgam Rahayu.” Pari mencondongkan tubuh, sedikit membungkuk, hingga kepalanya berada tepat di sisi kanan kepala Kla.
Mendengar ucapan Pari yang merujuk pada judul file yang dibuka Kla, Sra ikut mendekat. Menghentikan kursi beroda yang ia duduki tepat di samping kiri Kla. “Ini yang kemarin Mama bilang?” tanyanya.
Kla mengangguk.
“What’s that?” Pari menambahi.
Masih fokus pada dokumen yang telah terbuka di laman kerja komputer, Sra menjawab, “Novel terbarunya Mama yang belum dirilis. Mama minta bantuan Kla buat jadi proofreader pribadinya sebelum dikirim ke editor, semacam jadi kritikus awal.”
“Nggak biasanya. Biasanya kamu atau Rui yang diminta Tante Illiya,” balas Pari.
Kla sama sekali tak terganggu dengan percakapan keduanya, masih sibuk membaca halaman terakhir yang ia tinggalkan subuh tadi.
“Pertama, karena aku sama Rui lagi ada proyek Sains dari sekolah. Kedua, sejak awal karya Mama yang ini kayaknya udah menarik perhatian Kla banget,” jelas Sra.
“It’s such a gorgeous story that I can’t skip and I don’t want to,” timpal Kla. Tangannya sibuk menggulir mouse, mengalihkan ke halaman selanjutnya. (Ini seperti karya yang luar biasa yang tidak bisa aku lewatkan dan tidak ingin--aku lewatkan).
Pari menoleh, tak peduli jaraknya dengan Kla hanya tersisa satu jengkal. “Why? Biasanya kamu nggak se-excited ini. Bukan karena karyanya Tante Illiya nggak bagus, bagus banget malah menurutku. But, you know … fiction story is never be in your niche.” (Tapi, kamu tahu ... cerita fiksi tidak pernah ada dalam relung--ranahmu.Sejenak Kla merenung, benar juga. Bukannya menoleh ke arah Pari, pemuda itu justru menoleh ke arah sang kembaran. “Kamu bisa tanya Sra, aku malas jelasin.”
Pari berdecak, tetapi tak urung melihat ke arah Sra juga. “So?”
“Mungkin karena cerita Mama kali ini sedikit berbeda? Who knows what’s in Kla’s mind absolutely.” (Siapa yang tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Kla)
Kali ini giliran Kla yang berdecak, penjelasan kembarannya itu tak akan membantu rasa penasaran Pari sama sekali.
Karena itu, Kla mengambil alih. “Dari draf yang ditunjukkan Mama pertama kali, aku memang udah tertarik. It feels like … I fall in love with Nasyatal Ula.” (Itu terasa seperti ... aku jatuh cinta pada Nasyatal Ula)
Pari kembali menatap Sra, seolah bertanya siapa itu.
Seakan tahu maksud tatapan Pari, Sra menjawab, “Tokoh perempuan dalam cerita Mama.”
“Kenapa?” Pari kembali menegakkan punggung, memilih meraih kursi yang tadi diduduki, menyeretnya ke sisi kanan Kla. Gadis itu ikut melakukan scanning pada cerita milik Illiya di layar komputer Kla.
“Kisah hidupnya menarik.” Kla sengaja meng-highlight satu kalimat dengan warna kuning, meminta Pari membacanya cermat.
Pari menyipitkan mata, membacanya lirih, “Nasy terjebak dalam tiap konsolidasi ikatan dalam jaami’ah yang mendapat sentimen penghuni ma’had, tempat namanya dibesarkan juga mengenal para thalibah lain dari Timur Tengah.
“Latar yang dipakai Tante Illiya nggak di Indonesia?” lanjut Pari, “pantas saja kamu tertarik, Kla.”
Pandangan Kla menerawang ke depan, ke dinding berwarna putih di mana banyak sticky note tertempel. “Hanya 30 persen, selebihnya di Indonesia, kata Mama. Terlepas dari itu, aku suka pola pikir Nasya dan bagaimana dia menghadapi tiap permasalahan yang diciptakan Mama dalam cerita ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
SpiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...