Usai menyalami sang mama, dua anak kembar tanpa si bungsu itu duduk di ruang makan. Sra menuang air mineral dingin yang baru diambilnya dari kulkas, lalu menuang segelas lagi untuk Rui yang ikut meminta.
"Kla tidak pulang bersama kalian? Seingat Mama hari ini hanya Rui yang punya jadwal ekstra." Illiya ikut duduk di kursi kosong. Pekerjaannya kini tinggal menunggu kue yang dipanggang dalam oven matang dan mengembang.
"Nungguin Pari, Ma. Ada latihan drama," jawab Rui.
"Mama." Sra mengambil alih.
"Apa, Sra?"
"Tadi Kandi tanya, Kalani itu karakter murni buatan Mama atau terinspirasi dari siapa? Kayak Jali yang terinspirasi dari tetangga Mama dulu itu."
Rui menyahut, "Kalani tokoh di ceritanya Mama itu?"
Sra mengangguk santai ke arah sang saudara.
"Tidak sepenuhnya ada. Masalah yang dihadapi Kalani memang pernah terjadi pada teman Mama zaman di pondok dulu, tapi secara keseluruhan, Kalani murni fiksi." Illiya memasukkan sepotong buah jeruk yang telah dikupas ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan.
"Kenapa Kandi ingin tahu tentang Kalani?" tanya Illiya lagi. Matanya fokus menatap Sra.
Tandas isi air mineral dalam gelas, Sra menjawab, "Penasaran katanya, Kandi berpikir kalau seandainya Jali terinspirasi dari kisah nyata, kemungkinan Kalani juga betulan ada."
"Tokoh seperti Kalani sejujurnya tidak sulit ditemukan, Sra. Banyak para santri yang sejak kecil sudah hidup jauh dari keluarga, lalu dengan usaha, prestasi, dan relasi mereka bisa langsung melanjutkan studi dengan surat rekomendasi dari institusi terkait. Justru orang seperti Lakara yang jarang ada. Tidak banyak orang yang mau belajar dari nol, apalagi dari orang dengan gangguan jiwa seperti Wak Usman. Jangankan dari orang gila, banyak yang belajar dari guru mumpuni saja hilang tawaduknya. Sudah merasa paling pintar, merasa paling unggul, hingga merendahkan orang lain."
Rui tertawa kecil, ikut terbawa kilas balik kisah Lakara. "Tapi kan Lakara dulu juga begitu, Ma. Merasa paling benar, sampai absenin orang-orang yang datang ke masjid."
"Begitulah hidup seharusnya, Rui. Kamu berbuat salah, kemudian menyadarinya, berjanji tidak akan mengulangi, lalu belajar dari sana untuk menjadi yang lebih baik." Illiya bangkit setelah mengakhiri ucapan, berjalan ke arah oven untuk memeriksa kematangan kue.
"Iya juga, sih." Rui mengangguk mafhum. "Oh iya Ma, aku mau tanya ini dari kemarin tapi lupa terus."
Illiya berbalik badan saat tujuannya tercapai: kue buatannya belum matang sempurna.
"Apa itu?"
Sra ikut menatap sang saudara penuh rasa ingin tahu, tumben sekali anak itu.
"Aku ambil satu variabel aja ya, Allah itu sifatnya pemurah, Dia bukan Dzat yang miskin, seluruh alam semesta adalah milik-Nya. Lalu, kenapa ada orang miskin? Kenapa Allah nggak bagi rata aja kekayaan-Nya untuk semua makhluk?"
Illiya tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Kembali wanita itu berjalan ke meja makan dan duduk di tempat semula. "Kamu menyandingkan kata pemurah dengan sifat Allah?"
"Hah?! Kan mem—"
"Asmaul Husna," potong Sra cepat, "pemurah bukan sifat Allah, tapi nama Allah. Sifat wajib-Nya hanya ada 20 dan di antaranya nggak ada sifat pemurah."
Melihat tampang bingung Rui, Sra hanya mengedikkan bahu tak acuh, mempersilakan sang mama saja yang menjelaskan.
"Tepat sasaran, Eichi Sra," puji Illiya, "ini memang sering disalahpahami oleh orang-orang. Mereka—bahkan kita—masih bias jika membicarakan asma' dan sifat Allah, menganggapnya sama. Padahal, substansinya tetap berbeda. Tanpa kita menyematkan sifat pemurah pada Allah, memang begitulah Allah, Dia itu Pemurah, Pemurah itu Dia. Itu mutlak, Rui."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
SpiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...