“Kla, can you please explain what conditional sentence type 1 is?” (Kla, bisakah kamu menjelaskan tentang apa itu conditional sentence tipe 1?)
Si empu nama yang tadinya fokus ke buku di hadapan mengangkat wajah, menatap Mom Farah lekat. Setelahnya, pemuda 16 tahun itu menghela napas panjang.
“If clause which refers to possible condition and its probable result.” Tanpa repot-repot menunggu respons dari Mom Farah, Kla kembali menekuri deretan huruf dalam buku LKS Bahasa Inggris miliknya. Ia mencoba menjawab pertanyaan yang ada di sana tanpa menuliskannya. (If clause yang mengarah pada kondisi yang mungkim dan kemungkinan hasilnya)
Meski sedikit kesal dengan sikap dingin sang siswa, tetapi guru perempuan dengan rok span panjang itu tak urung tersenyum jua. Kla tak pernah tak bisa menjawab pertanyaan yang ia ajukan, dan selalu tepat.
Merasa dikuliti hidup-hidup lewat tatapan mata oleh teman-teman sekelas yang lain, sekali lagi Kla mengembuskan napas panjang. Kali ini ia memilih menutup buku LKS-nya dan fokus menatap whiteboard yang sudah terdapat garis horizontal, sebuah metode yang digunakan Mom Farah agar memudahkan muridnya memahami materi conditional sentence.
“Ok, now, can anyone give an example of it?” Kembali suara Mom Farah mengambil atensi seluruh kelas XI IPA 2. (Sekarang, dapatkah seseorang memberikan contohnya?)
Tak lama, seorang gadis berkuncir kuda di barisan paling depan mengangkat tangan tinggi. Sempat memamerkan deretan rapi gigi putihnya sebelum menjawab, “If I get the first rank in this semester, Kla will let me be his friend.” (Jika aku mendapat ranking pertama semester ini, Kla akan membiarkanku menjadi temannya)
Sorakan langsung riuh memenuhi ruang bertema retro milik XI IPA 2 itu. sedang si empu nama, berdecak seketika, rasa kesalnya berhasil tersulut oleh jawaban yang diberikan Widuri, teman sekelas yang sejak masuk sekolah tanpa tahu malu selalu merecoki chapter kehidupan barunya menjadi siswa SMA.
“Widuri,” peringat Mom Farah.
“Sorry, Mom. Habis Kla sombong banget, nggak mau diajak temenan.” Sengaja gadis berambut sebahu itu menoleh sekilas ke arah Kla yang duduk di pojok kelas. Pemuda itu menatapnya lurus, tanpa ekspresi berarti. Lagipula, Widuri tulus ingin berteman dengan pemuda itu, tak ada niat lain.
Sudah siap melanjutkan pembahasan materi hari ini, Mom Farah dibuat urung oleh ucapan Kla selanjutnya. “I’ll get nothing from being your friend, but ok. Just if you can replace my position in the first rank this semester.” (Aku tidak akan mendapat apa-apa dari menjadi temanmu, tapi baiklah. Hanya jika kamu bisa menggantikan posisiku di peringkat pertama semester ini)
Sorakan makin riuh mendengar balasan Kla untuk Widuri yang kini sudah menatapnya kembali sambil menjatuhkan rahang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Sungguh, Kla tak ada niatan sombong meski sejak kelas X selalu mendapat ranking satu di kelas mereka. Siapa pula yang sengaja mendapat posisi itu, jujur saja Kla tak peduli ada di peringkat mana dirinya. Yang ia tahu selama ini, ia hanya belajar agar tak direcoki kedua saudaranya yang makin gila belajar itu.
Omong-omong tentang Sra dan Rui, keduanya berada di kelas yang sama, XI IPA 1. Bukan masalah pintar kurang pintar sebenarnya pembagian kelas diberlakukan di sana. Sekolah tempat ketiganya menimba ilmu punya sistem di mana tiap kelas memiliki program unggulan berbeda, jadi mereka dipisahkan bukan berdasarkan prestasi, melainkan minat yang ingin diasah lebih jauh.
Jika Sra dan Rui memilih IPA 1 karena ingin mengikuti program sains lebih banyak, Kla memilih memisahkan diri karena ingin bergelut dengan bahasa Inggris. Maklum saja, di sekolah mereka belum ada jurusan bahasa. Meski begitu, sudah diterapkan metode bilingual untuk beberapa kelas dan dua kelas itu termasuk di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
EspiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...