24. Tentang Prairie

40 9 2
                                    

Goodie bag berukuran lumayan sudah tertenteng di tangan Sra. Bukan miliknya, tetapi milik Kla yang dititip. Isinya buku-buku karya George Orwell pemberian Pari yang dijanjikan gadis itu sebelumnya. Sementara, si empu tengah sibuk diajak berfoto Pari di salah satu photobooth yang ada. Katanya, mumpung gadis itu tengah memakai baju princess. 

"Nggak capek ya, mereka foto-foto terus?" Srikandi muncul dengan segelas matcha di tangan, berdiri di samping Sra.

Pemuda itu menoleh dan menjawab, "Buat Pari, nggak kayaknya. Dia suka foto."

"Kalau Kla? Terpaksa?" Srikandi terkekeh.

Mau tak mau, Sra ikut meloloskan tawa. Ia ingat tampang sang saudara sewaktu diminta Pari berfoto bersama, amat kusut. Sayangnya, Kla tak kuasa menolak, lagipula Pari cukup paham batasan, ia tak akan mengunggah foto Kla tanpa persetujuan. Jadi, Kla maklum.

"Orang tua kamu sudah datang?" tanya Sra, memutar tubuh ke arah Srikandi. 

Waktu pengambilan rapor memang tiba, pun dengan Dies natalis Cendana beserta segala pementasan yang ada. Masih ada 15 menit sebelum semua wali murid dikumpulkan di aula untuk menyaksikan satu pentas sebelum mengambil hasil belajar anak-anaknya di kelas masing-masing.

"Mana mungkin orang tuaku datang, paling nanti diwakilkan Mbak. Orang tuaku kan masih di Canberra, Sra." Bahu Srikandi turun seketika, tetapi jawabannya amat santai terlontar.

Sra tak menanggapi banyak, hanya mengangguk. 

"Oh iya, hari ini yang ambil rapor kamu Tante Illiya, kan?" Kandi kembali semringah, menatap Sra penuh binar. Setelah menerima anggukan, ia melanjutkan, "Yes, bisa ketemu dan ngobrol. Aku kangen sama Tante Illiya."

"Nanti habis ambil rapor, aku ajak ketemu Mama." 

Kla menyusul usai lepas dari si cerewet Pari. Dalam balutan kemeja hitamnya, pemuda tersebut langsung duduk di bangku kosong yang ada di depan Sra dan Kandi, berulang memijit pangkal hidung.

Kandi terkikik. "Capek, ya?"

"Bukan capek, energiku terkuras," jawab Kla jujur.

"Sama aja judulnya," cibir Kandi.

Baik Sra maupun Kandi yang sama-sama mengenakan pakaian casual ikut duduk di bangku lain. Hari ini memang semua anak Cendana tak ada yang memakai seragam, kecuali anak-anak drama yang hari ini pentas. Mereka mengenakan kostum sesuai peran masing-masing. 

"Tapi kamu keren, loh. Meskipun nggak suka, tapi kamu masih mau nurutin Pari." Kandi tak bohong, ia takjub dengan tingkat kesabaran sang kawan. 

"Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau nyenengin dia? Rui sibuk tebar pesona dan Sra sibuk sama kamu." Cibiran pemuda itu sama sekali tak menyinggung, justru mengundang kekehan. "Lagipula yang aku lakukan hanya hal sederhana. Kalau dengan hal sederhana itu bisa buat Pari senyum, why not?"

Sra mengerling, menggoda sang adik. 

"Tapi kan kebahagiaan Pari atau orang lain bukan tanggung jawab kamu. Setiap orang bertanggung jawab penuh atas kebahagiaannya sendiri." Kandi memang penasaran, bukan bermaksud mengatakan Pari buruk. Hanya saja, terkadang ia pikir Pari terlalu manja terhadap si triplet, terutama Kla. Meskipun terlepas dari itu, Pari adalah tipe adik perempuan yang menggemaskan.

Gara-gara itu, Sra jadi ikut penasaran apa jawaban Kla. 

Embusan napas panjang lolos dari bibir Kla. Ia lantas membuang pandangan ke arah lapangan yang sudah penuh dengan hiasan, sedang tangannya bersedekap dada. "Bukan berarti aku merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan Pari. Buat orang lain seneng itu, bisa menambah kebahagiaan aku juga. Dan Pari, dalam hal ini, sudah seperti adikku sendiri. Jadi kurasa, selama aku bisa memberikan apa yang dia butuhkan, perasaan disayangi misal, kenapa nggak?"

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang