8. Lebih Baik Bodoh

76 30 1
                                    

Sambil memutar pulpen di jari, lagi-lagi Rui menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan saat orang yang berdiri di depan sana bertanya, "Bagaimana menurut kalian?"

Sudah dua jam anak-anak berseragam putih biru itu duduk di ruang OSIS, melaksanakan rapat untuk classmeeting tengah semester, pun tak ada yang memiliki petunjuk kapan akan usai. Bukan hanya Rui yang lelah. Anak itu berani bertaruh, Dimas—salah seorang kawan—yang sejak awal bersorak karena tak mengikuti kelas sebab rapat, akan lebih memilih duduk mendengar penjelasan guru jika begini.

"Nggak ada yang punya saran?" Lagi-lagi Ai membuka suara. Anak perempuan bernama Gaida itu merupakan ketua Osis sekaligus pemimpin rapat kali ini. Menyapukan pandangan ke seluruh peserta, pada akhirnya Ai mengerutkan dahi. Tak lama, ujung-ujung bibirnya turun. "Ayo dong, keluarin ide kalian. Masa' dari tadi cuma aku yang mikir? Kalian ngapain?"

Pandangan sinis langsung terlempar pada satu arah, Ai. Dalam benak, mereka semua sama, "Kenapa rapat kali ini tidak didampingi pembina Osis, seperti biasa?"

Namun tetap saja, tak ada yang mau repot-repot membalas ucapan dengan nada tinggi milik Ai. Kecuali ... satu orang di bangku ujung. Dengan rambut panjang terurai berwarna pirangnya, anak perempuan itu mengangkat tangan tinggi, mengambil atensi. Jelas, hal itu semakin membuat Rui ingin menenggelamkan diri dalam lipatan tangan. Apa yang akan disampaikan Pari?

Cukup mengejutkan bahwa Pari langsung direkrut masuk Osis sejak awal masa pembelajaran baru. Kata Kla, itu efek privilege kecantikan.

"Jadi, apa usul kamu?" Ai tak berpindah seinci pun, tetap berdiri di samping whiteboard penuh tulisan sembari memegang sebuah spidol hitam.

"Nggak ... sebenarnya aku cuma mau mengingatkan, bukannya kita dianjurkan Bu Sita mengadakan maksimal 12 lomba kali ini, Kak? Selain karena masalah dana, keterbatasan waktu juga nggak memungkinkan karena pelaksanaannya berdekatan dengan akreditasi ulang sekolah. Aku yakin Osis akan sangat sibuk karena juga akan diminta membantu dewan guru. Penambahan lomba dari yang terakhir kali disepakati akan mengurangi efisiensi kinerja Osis."

Tahu sesuatu, terkadang Rui masih suka dibuat ternganga dengan perubahan Pari. Anak itu jadi tampak makin berwibawa tiga tahun terakhir. Tak seperti Pari yang dulu suka manja dan merengek padanya, terutama Kla. Luar biasa, bukan? Terlepas dari itu, yang dikatakan Pari benar, rapat alot ini benar-benar tidak berguna jika Ai bersikeras. Sudah beberapa kali peringatan serupa terlontar pun, tidak mempan untuk Ai si serba ambisius itu.

"Kalian kenapa jadi pemalas gini, sih? Kan sudah aku bilang tadi, Bu Sita menganjurkan karena khawatir kesibukan kita, bukan berarti nggak boleh, kan? Lagipula, sibuk kayak gitu sudah biasa, jangan manja. Katanya mau buat event ini spektakuler di tahun kita? Kalian bukan orang yang bakal ngomong doang, kan?"

Pari meringis. Sepertinya pendapatnya bernasib sama dengan pendapat-pendapat anak sebelumnya, tak mempan.

Mendengar ucapan penuh emosi Ai, Rui justru menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Diliriknya Pari yang juga menatap ke arahnya, mengedikkan bahu seraya menggelengkan kepala.

"Ai, aku boleh izin ke kelas dulu, nggak? Udah ganti jam, aku ulangan Math soalnya." Zeva yang sejak tadi duduk gusar akhirnya bersuara. Tak mengikuti ulangan yang satu itu sama saja dengan bencana. Di samping sulit, Pak Wahyu tak kenal toleransi bagi siswanya yang tak ikut ulangan. Tak ada susulan, dengan alasan apa pun.

Gebrakan meja terdengar memenuhi ruangan setelah Ai menabrakkan dua tangannya dengan keras dengan permukaan kayu tersebut. Matanya penuh sorot permusuhan tatkala memandang Zeva. "Yang lain aja belum ada yang balik, kamu mau balik? Punya jiwa korsa nggak, sih? Lagipula kamu tuh bendhahara, Zeva. Jangan egois, dong. Yang lain juga pasti ada ulangan, kok, tapi nggak ada yang kayak kamu, tuh."

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang