"Pari boleh peluk Tante?"
Illiya yang tiba-tiba ditanya demikian begitu Pari sampai ke hadapannya sedikit kebingungan, tetapi tak ayal mengangguk juga. Direntangkannya tangan untuk menyambut Pari yang langsung menubrukkan diri, menenggelamkan wajah dalam ceruk leher Illiya yang tertutup khimar lebar.
Sambil dielusnya perlahan punggung Pari, Illiya bertanya, "Pasti berat, ya?"
Lagi-lagi, air mata Pari berjatuhan, kali ini tanpa suara. Gadis itu hanya menyalurkan kesedihan pada Illiya dalam diam.
"Tidak apa-apa, menangis saja. Tante di sini, Sayang. Kamu tidak sendirian." Lembut tutur kata Illiya semakin membuat gadis itu mengeratkan pelukan.
"Pari ingin ketemu Ibu," adunya lirih, tetapi cukup terdengar di telinga Kla yang berdiri di dekat keduanya. "Pari juga ingin dipeluk Ibu. Everyone here has a mother, but why did God take my mother?"
Illiya ikut sesak, anak ini tidak pernah bertemu ibunya, tidak sekali pun melihat wajahnya. Meski hidupnya selalu berkecukupan, tetapi ia tahu Pari tak pernah mendapat kasih sayang utuh selayaknya anak-anak lain. Ia tumbuh tanpa sosok ibu, bahkan juga ayah. Ia sering ditinggal untuk urusan bisnis, sekalipun menghabiskan waktu bersama, pasti tak lama.
"The God loves your mother more than everyone, that's why He took her for staying by His side. He knows you'll grow stronger than other children, Pari." Illiya memaksa mengurai pelukan keduanya, lantas tangannya menangkup wajah gadis itu. "Look at me!"
Meski tak bisa melihat wajah Illiya sepenuhnya, Pari dapat melihat dengan jelas sorot mata perempuan bercadar tersebut.
"Aren't you my daughter as well?" Illiya menyungging senyum lebar di balik cadar green tea-nya. "Sampai kapan pun, kamu boleh menganggap Tante sebagai ibu kamu. Jika kamu perlu sesuatu, kamu bisa mengandalkan Tante. Or you wanna have girl's time, datang ke rumah, we can cook together, I can style your hair, do your make up, we can also go shopping if you want, Pari.
"Satu saja permintaan Tante, jangan sekali-kali berpikir untuk memanggil Tante dengan sebutan Ibu. Why, karena sampai kapan pun, yang berhak kamu panggil dengan sebutan Ibu adalah ibu kandung kamu and your mother-in-law in the future."
Itu sudah cukup, Pari kembali memeluk erat Illiya. Sungguh, ia sangat bersyukur memiliki sosok seperti Illiya dan keluarganya.
"Thank you, Tante," ucapnya tulus. Begitu bisa menguasai diri, Pari kembali ke sifatnya yang ceria, meski masih dengan sisa air mata. Ia berbisik setengah bercanda, "But, aren't you my mother-in-law wants to be?"
Illiya langsung memberikan lirikan tajam pada Kla.
Kla yang tidak tahu apa-apa langsung melotot diperlakukan demikian oleh sang mama. "Apa kesalahan Kla kali ini?"
Pari langsung mengurai pelukan dan cekikikan, memandang Kla dengan tatapan geli.
"Janji sama Mama kalau kamu tidak akan pacaran-pacaran!" ucap Illiya setengah mengancam.
"Pacaran apa? Kla dekat dengan teman perempuan pun nggak, Ma. Sra, tuh, yang lagi pedekate sama Srikandi. Anak Mama yang satu juga malah hobi tebar pesona, kenapa jadi Kla yang kena?" protes Kla, jelas ia merasa dihakimi.
"Apa pun alasannya, tidak usah pacar-pacaran! Sampai melanggar ...." Illiya sengaja menjeda, membuat gerakan melintang di depan leher. "Kamu tahu sendiri risikonya. Kalian bertiga sudah diultimatum sama Papa, kan?"
Kla menghela napas berat, memandang Pari yang masih cekikikan dengan sengit. "Ngomong apa kamu sama Mama?"
Tanpa merasa bersalah, gadis itu membalas, "Dikit kok, biar kamu nggak coba-coba cari perhatian sama Kak Garde."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
SpiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...