"Ma, ini maksudnya apa?" Kla langsung berdiri dari duduk nyamannya di sofa single, menghampiri sang mama yang sibuk menekuri layar laptop. Diulurkannya buku di tangan, menunjukkan sticky note hijau yang tertempel di halaman yang terbuka.
Dalam tulisan rapi tegak bersambung, Illiya mengamati kalimat tersebut dengan lamat. Betul juga, itu tulisan yang sengaja ia sisipkan saat membaca buku tersebut. Di sana tertulis, "Sejak kita lahir, kita telah cukup tua untuk mati".
Illiya ingat, kalimat itu berasal dari salah satu buku karya Bendung Layungkuning yang pernah dibacanya. Sengaja ia sisipkan di sana karena membahas hal yang sama.
Perempuan itu beralih fokus pada sang putra yang mengerjap. Illiya memutuskan menyimpan dokumen yang sejak tadi dikerjakan, lantas meletakkan laptop tersebut di atas meja. "Bukankah kita bisa meninggal kapan saja?"
Tahu akan menjadi pembahasan panjang, Kla duduk di samping sang mama. Ah ... waktunya mendengar dongeng versinya sendiri.
Kla mengangguk.
"Kutipan itu adalah salah satu hasil pikirannya Martin Heidegger, seorang filsuf, Kla. Banyak dari kita berpikir bahwa orang yang sudah tua-lah yang berkemungkinan untuk mati. Padahal tidak begitu." Sengaja Illiya membalik buku hingga ke awal bab, menunjuk judul bab yang tertera.
"Siapkah Kita Mati Hari Ini?" Begitu yang tertulis sekaligus digumamkan Kla baru saja.
"Mayoritas orang, mungkin juga termasuk kamu dan Mama, tidak benar-benar ingin membicarakan kematian. Kita berpikir bahwa, 'Ah, tidak mungkin aku mati dalam waktu dekat. Aku masih muda, masih banyak hal yang harus kulakukan.', padahal tidak bisa begitu." Kekehan kecil lolos dari bibir Illiya. "Allah tidak menerima request kita yang ingin mati pada usia berapa, Kla. Semua sudah diatur sejak awal penciptaan."
"Kita sudah ditunggu malaikat maut, hanya menunggu waktunya tiba," lirih anak berkacamata tersebut, "makanya nggak ada istilah muda atau tua dalam kematian. Pasti."
Giliran Illiya yang mengangguk mantap. "Banyak bayi yang baru lahir pun meninggal, bukan?"
Jemari Kla meraih kacamata, melepasnya sebelum menatap datar ke layar hitam televisi di depan. "Pantesan Sra selalu cerewet kalau nyebrang jalan. Nggak berhenti ngomong hati-hati. Dia khawatir kalau kita tiba-tiba mati ketabrak kali ya, Ma?"
Tuhan, Illiya sungguh tak bisa menahan tawa kali ini. Perempuan itu sampai memegangi perut sebab perkataan putranya. Terkadang, Kla bisa terdengar sepolos itu. "Eero Kla, mau kita berdiam diri dalam kamar sekalipun, jika sudah waktunya, kita tidak bisa menghindari kematian, Sayang. Kamu pikir seseorang meninggal hanya karena kecelakaan?"
Seketika Kla menggaruk tengkuknya dengan tangan yang bebas, terkekeh canggung. Ia hanya spontan menanggapi tadi.
"Omong-omong, tadi Mama lihat Rui sedang sibuk dengan komputer. Dia bermain game?" tanya Illiya.
"Memeriksa proposal pengajuan dana untuk classmeeting. Katanya, ada perubahan setelah rapat tadi."
"Kalau Sra? Tidak biasanya dia langsung masuk kamar setelah makan malam," tanya Illiya lagi. Sebelum menyusulnya, Kla memang sempat naik ke kamar untuk mengambil buku yang kini berada di tangan Illiya.
"Ngajarin Pari secara virtual," jawab Kla sekenanya.
Jawaban singkat Kla sukses membuat Illiya mengerutkan dahi. "Kenapa tidak langsung bertemu saja? Dekat."
Kla mendengkus saat mengingat kembali alasan konyol gadis seberang jalan itu. "Males lihat aku katanya, makanya nggak mau ke sini."
Mata Illiya melayangkan sorot curiga. "Pasti kamu jail lagi ke dia, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
SpiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...