6. Tuhan Semesta Alam

95 31 4
                                    

Di antara tiga putra kembarnya, Kla memang paling pandai menyindir, entah turunan dari siapa. Jika dipikir-pikir, baik Illiya maupun Haidar bukan tipikal seperti itu.

"Kan kita diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Jadi, nggak masalah kalau akhirnya mati juga." Rui menjawab dengan berapi-api, bahkan sedikit mencondongkan tubuh agar bisa melihat Kla meski tampak samping dari sela jok depan. "Ish, Papa kan udah pernah bilang, masa kamu lupa?"

Decakan lolos dari bibir anak berkacamata itu. Digulirnya bola mata 360 derajat penuh guna menanggapi Rui. "Harusnya kamu bilang itu ke Sra, bukan aku. Kita diciptakan untuk beribadah, menjaga alam itu juga ibadah. Iya kan, Ma?"

"Betul, Sayang." Lembut Illiya menanggapi. Ia mengalihkan target bicara pada Sra yang tengah mengerjap bingung di samping Pari. "Sra, Allah menyediakan alam bukan semata menjadi hak kita, melainkan ada tanggung jawab bagi kita, manusia yang berakal, sebagai penyerta. Seperti kata Kla, menjaga alam dengan tidak memanfaatkannya berlebihan itu juga bernilai ibadah. Kebaikan apa pun itu, jika dilakukan dengan ikhlas, insyaallah akan bernilai ibadah."

Kla menoleh dan melempar tatapan sinis pada Rui yang masih bertahan di posisi yang sama. "Paham?"

"Lagipula, kita wajib saling menyayangi, bukan? Salah satunya menyayangi alam dengan tidak mengeksploitasinya, begitulah seharusnya akhlak terpuji manusia terhadap makhluk lain," lanjut Illiya.

Di tempatnya, Sra mengangguk tanpa sadar.

"Bibi, Pari ingat Daddy pernah bilang bahwa ekploitasi alam bisa membuat manusia mengalami masa transisi ekstrem. Itu ... apa maksudnya?"

Ingin sekali Illiya terkikik, tetapi ditahan. Sungguh, anak perempuan itu banyak mendapat perbendaharaan kata yang cukup tak terduga dari sang ayah, meski belum paham artinya. "Daddy Pari yang beritahu, atau Pari yang tidak sengaja dengar?"

Segera, sembari menggaruk pelipis dengan telunjuk, Pari tertawa canggung.

Illiya maklum. Tetangganya yang satu itu sudah belasan tahun terjun ke dunia bisnis. Dari cerita Pari pun, ia tahu bahwa sebagian besar waktu ayah dari anak perempuan tersebut banyak dihabiskan untuk berbincang perihal bisnis. Secara langsung maupun lewat sambungan telepon. Ditambah, ayah Pari menduduki jabatan penting di perusahaan yang bergerak di bidang industri pulp dan kertas. Jelas lelaki itu akan sangat fasih jika membicarakan perihal eksploitasi alam dan kawan-kawannya. Bukankah kertas terbuat dari serat kayu?

"Transisi itu artinya peralihan suatu keadaan, Pari. Coba bayangkan jika manusia mengeksploitasi hutan. Semua pohon ditebang, baik yang sudah tua maupun yang masih muda. Apa yang akan terjadi? Persediaan air tanah akan makin menipis jika kemarau, udara semakin panas, belum lagi kalau musim hujan. Akan sangat mungkin terjadi banjir atau tanah longsor di tempat yang landai. Bukankah kita akan sangat kesulitan jika itu terjadi? Yang semula sejuk, tiba-tiba panas. Yang semula mudah mendapat air bersih, tiba-tiba kesulitan. Sangat ekstrem, bukan?"

Tak hanya Pari, Rui dan Sra juga ikut mengangguk. Sementara itu, Kla sibuk fokus ke jalanan di depan sembari melipat tangan di depan tubuh. Hampir sampai ke rumah.

"Hari ini kamu ada les?" tanya Rui pada Pari tiba-tiba, kembali duduk dengan tenang. Matanya melirik ke lutut Pari yang terbalut kasa, berganti pada telapak tangan anak itu di atas pangkuan.

Pari ragu. Sejujurnya, ada les balet. Namun, bagaimana ia akan pergi ke tempat les jika kaki dan tangannya sakit? Ia jelas tak akan fokus pada yang diajarkan.

"Buat apa les kalau nggak jago-jago? Mending di rumah," celetuk Kla santai.

"Eero Kla," peringat Illiya begitu memarkir mobil di garasi rumah.

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang