"Bibi Illiya, mereka belum bangun?"
Sejak jam setengah enam pagi, Pari sudah ikut berkutat di dapur minimalis Illiya. Ia bahkan menggedor pintu lumayan brutal waktu datang. Untung saja si empu rumah baik luar biasa, sudah paham tabiatnya pula.
"Si kembar?" Perempuan bercadar hitam itu menoleh dengan sendok sayur masih di tangan, tak jadi mengaduk sop ayam yang tengah dimasak.
Pari mengangguk, sedang tangannya kini sibuk menata piring di meja makan.
"Mereka sudah bangun sejak subuh, entah sedang apa sekarang." Illiya kembali ke kegiatannya dan melanjutkan, "Kamu tidak persiapan ke gereja? Sudah jam setengah tujuh, Pari."
Ujung bibir Pari mengembang begitu Illiya menyelesaikan pertanyaannya. Meski yakin tak melihat karena terlalu fokus, Pari tetap menggeleng guna merespons, membuat rambut berhias bandonya bergoyang. "Jadwal sekolah Minggu Pari diubah ke Sabtu siang, Bibi. Jadi, bisa free, deh."
"Bukannya kalau ibadah tetap hari Minggu?" Datang-datang, Rui langsung menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral dari sana, membuat Illiya melirik sekilas.
Anak perempuan itu tak terganggu sama sekali, justru membantu Rui mengambil gelas yang berada di tengah meja sebelum mengangsurkannya. "Enggak juga, kok. Di gerejaku jadwalnya dibagi-bagi tiap tingkatan usia, tapi nggak tahu deh, kalau di gereja lain."
Rui hanya mengangguk sebelum menandaskan air mineral yang tadi dituangnya. Selesai mengembalikan botol, Rui berdiam sejenak di depan kulkas, memperhatikan lamat seseorang yang tengah menuruni tangga.
Menyadari itu, Pari ikut menoleh. "Sra?" tanyanya ragu.
Si target hanya memutar bola mata malas. "Aku Kla."
Aih, masih saja Pari bingung membedakan jika Kla melepas kacamatanya. Salah siapa, ciri fisik mereka betul-betul sama, berbeda dengan Rui yang memiliki gaya rambut selalu berbeda dari keduanya, anak itu paling stylish.
Mendengarnya, Illiya hanya terkekeh kecil tanpa menimpali sedikit pun.
"Kenapa nggak pakai kacamata aja kayak biasanya?" Pari lekat memandang anak berkaos hitam tersebut.
"Biar nggak lihat muka kamu dengan jelas." Balasan Kla yang terkesan serampangan itu membuat Pari langsung mendesis kesal, sedang Rui menyemburkan tawa.
"Kla," peringat Illiya.
Namun, Kla tetap melenggang santai. Melakukan yang dilakukan Rui sebelumnya.
Dengan bibir manyun, Pari menyusul Illiya sambil menghentakkan kaki. Saat melewati Kla, ia sengaja menyenggol lengan anak itu hingga botol minum hampir terjun bebas dari pegangan.
Sontak Kla melotot, melayangkan tatapan nyalang pada punggung Pari. "Kekanak-kanakan."
Kau tahu, Rui menikmati drama gratis di Minggu pagi ini. Selalu begitu, Kla dan Pari seakan tidak ditakdirkan untuk akur.
"Pari bisa bantu apa lagi, Bibi?" Mendengar cibiran Kla, Pari yang tadinya hendak mengadu, urung. Ia tak mau dilabeli kekanak-kanakan lebih dari yang tadi, meski kesal setengah mati.
"Tidak ada, Bibi sudah selesai, Pari. Waktunya kita makan." Perempuan itu memindahkan sop ayam ke dalam mangkuk besar, lantas membawanya ke meja makan.
Pari tak menyusul, malah terus diam di depan kompor gas. Rasa-rasanya ia mencakar Kla jika melihat muka anak itu.
"Pari?" panggil Illiya. Merasa tak mendapat respons, ia mengulang, "Pari, ke sini, Sayang."
Embusan napas panjang lolos dari bibir Pari bersamaan dengannya yang berbalik badan, menyusul ke meja makan.
Kla tampak tak peduli. Rui sendiri tanpa diminta sudah pergi memanggil Sra guna sarapan bersama. Ayah mereka? Haidar sedang berada di luar kota urusan pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ebulisi
SpiritualRui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identik, penampilannya saja yang bertolak belakang. Masalahnya, tiga-tiganya punya hobi dominan sama, mem...