11. Kosong yang Penuh

56 23 3
                                    

Beberapa anak kecil melihat ke arah mereka, tetapi tak ada yang berani mendekat. Barangkali berpikir mereka sudah terlalu besar untuk diajak bermain, atau mungkin juga memang hanya sekadar penasaran karena paras Pari yang memiliki perbedaan signifikan dari orang-orang yang biasa mereka lihat. Yang pasti, si kembar dan Pari sendiri tidak peduli.

"Aku pernah baca dongeng, katanya, kalau Tuhan terlihat, berarti Dia nggak adil pada mereka yang buta. Tuhan kan, Maha Adil." Sra sedikit menggeser posisi duduk agar menghadap Kla secara langsung. Hal itu pun diikuti Rui, juga membuat Pari sedikit kerepotan melakukan hal serupa.

"Buktinya, Tuhannya Pari kelihatan," sahut Rui polos.

Si empu nama mendesah, memandang sangsi ke arah anak lelaki itu. "Itu cuma gambar, Rui. Lagipula aku nggak pernah lihat Tuhan secara langsung."

Mendengar celoteh dua anak di depannya yang tak sesuai harapan, Kla memutar bola mata malas. "Bicarakan Tuhan secara umum saja, Rui. Jangan bawa-bawa Tuhan Islam atau Tuhannya Pari."

Decakan lolos dari bibir Rui. "Sama-sama Tuhan, apa bedanya?" gumamnya.

Sra hanya bisa meringis menanggapi itu. Si sulung memang paling sering tak bisa diajak serius.

"Tapi, Kla ...." Sra mengambil alih atensi. "Papa pernah bilang ke kita, kan, kalau Tuhan itu adalah yang terlihat dan nggak terlihat? Dia memang Yang Rahasia, tapi bukan berarti sama sekali menyembunyikan diri. Tuhan nggak membuat diri-Nya sepenuhnya rahasia untuk bisa kita pahami. Buktinya, kita bisa mempelajari nama-nama-Nya, para malaikat-Nya, kitab-kitab, dan yang lain. Itu menunjukkan bahwa aslinya Tuhan menunjukkan diri dengan cara-Nya sendiri, kita hanya perlu menyadari. Lagipula, Mama juga pernah bilang bahwa Tuhan itu bukan tentang yang bisa kita nalar atau analogikan, tapi tentang rasa."

Pari mengerjap beberapa saat sebelum menguatkan pegangannya pada pensil 2B di tangan. Tak lagi fokus pada si kembar, anak itu mulai membuat sketsa, meski telinganya tetap awas mendengar mereka kembali mengobrol.

"Terus tentang aturan dan mereka yang nggak patuh?" Pangkal alis Rui menyatu, mengerjap seperti yang dilakukan Pari tadi.

"Ya ... berarti kesimpulannya patuh nggak patuh bukan karena Tuhan nggak terlihat mata." Kla menjawab tak acuh, ia sudah bisa menerima penjelasan Sra. "Manusianya aja yang buta hati."

Sra terkekeh, tak urung setuju pada statement yang dilontarkan Kla. "Para koruptor yang jelas-jelas tahu menyalahi aturan, tahu ada penegak hukum, dan tahu ada hukuman penjaranya saja, tetap melakukan korupsi. Jadi, nggak ada jaminan kalau Tuhan menunjukkan diri, para manusia akan taat aturan."

"Itu karena hukum di Indonesia memang bobrok," celetuk Kla, membuat Sra dan Rui sukses terkekeh.

Ingat sesuatu, Sra mengakhiri tawa lebih dulu, bertanya, "Omong-omong, rangkaian acara untuk classmeet sudah pasti, Rui?"

Anak itu mengangguk dengan senyum lebar.

"Berarti jadi ada pensi lagi?" sambung Kla dengan nada frustrasi. Sungguh, ia benci acara yang satu itu. Pasalnya, dirinya pasti akan dipaksa ikut andil oleh teman-teman sekelasnya, lagi.

"Iya. Ternyata kepala sekolah setuju dengan syarat harus lebih meriah dari tahun sebelumnya. Ya ... meskipun artinya anak Osis harus kerja ekstra," jelas Rui sekenanya, "kenapa? Kamu trauma sama pensi tahun lalu?"

"Trauma kenapa?" Pari yang sejak tadi sibuk sendiri mengangkat wajah, menampilkan ekspresi penasaran. Pasalnya, tahun lalu kan, ia belum bersekolah di sana.

Sambil melemparkan tatapan geli, Rui saling pandang dengan Sra untuk beberapa saat sebelum beralih pada Pari. "Kamu inget sama Gardenia? Temen sebangku Kla waktu SD."

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang