Rhipia, Pulau Terium
________________________Thea baru lima Minggu memijakkan kaki di kota Rhipia, ketika berita mengenai wabah berbahaya dan aneh ditemukan mulai merebak di seluruh penjuru negeri.
Kota tempatnya saat ini tak luas, paling tidak hanya satu per lima belas dari pulaunya, pulau Terium. Tempatnya di ujung paling Timur pulaunya, masih sedikit tertinggal, penduduknya tak banyak, menjadi salah satu asumsi sebab jarangnya dilirik pemerintah.
Empat hari setelah berita itu mencuat, gempar seluruh negeri ketika peringatan tegas dinyatakan oleh pemerintah. Jam malam terbatas, aktivitas lebih dari sepuluh jam per hari tak diperbolehkan, pemberlakuan ketat mengenai kebersihan diri mulai ditetapkan, penjagaan di setiap perbatasan kota dan pulau diadakan, warga dalam kota tidak boleh keluar kota.
Menginjak hari keempat belas, kabarnya satu kota di ujung Selatan pulau Terium, telah tak berupa. Terjadi pemberontakan massal akibat peraturan baru, perlawanan terhadap penjagaan di setiap perbatasan, kerusuhan menjarah kota dalam waktu singkat, ketidakpastian mengenai apa yang terjadi membuat hampir seisi kota mengamuk dibakar amarah.
Tiga hari setelah itu, di kota yang sama, muncul kembali para unjuk rasa. Persediaan makanan menipis, karena adanya aturan dilarang berpergian ke antar kota, orang-orang tak bisa mendapatkan kebutuhan yang ada di kota lain. Mereka tak bisa menjalankan jual beli bahan makanan dan kebutuhan, dalam perkiraan yang ada, hanya ada persediaan makanan dan minum untuk sepuluh hari ke depan bagi seluruh warga dalam satu kota tersebut.
Pemerintah kabarnya tengah berusaha, namun akibat kejadian tiga hari yang lalu, terjadi pengeluaran besar-besaran. Belum lagi, permintaan persediaan makanan dan air di beberapa kota besar lainnya melonjak lebih banyak karena dampak dari peraturan yang bahkan belum genap satu bulan diterapkan.
"Dasar tikus tanah! Persetan dengan penyakit dan wabah! Kami tak percaya itu ada! Biarkan kami seperti hari-hari sebelumnya!" Teriakan dari seluruh sudut kota menggemakan hal serupa.
Seolah seluruh kota berkeringat air mendidih dari tungku, mereka semua terbakar sampai wajahnya merah tak karuan. "Heh! Budak tikus! Jika tidak mampu memberi makan dan minum, berhenti mendengarkan tuanmu! Bodoh! Tidak ada gunanya menjaga perbatasan, tidak terjadi apa-apa di sini!"
"Bisa kalian mundur saja? Bajingan tak tau apa-apa! Bersembunyi saja kau di rumah!" Satu orang sebagai pengatur keamanan tak mampu menahan sabar. Ia mengamuk sebagaimana orang-orang yang memberontak.
Keadaan semakin runyam. Hingga saat ini masih tidak ada penjelasan dari pemerintah tentang apa yang terjadi, orang-orang merasa seperti di kurung di rumah sendiri. Beberapa keluarga, yang salah satu anggotanya adalah polisi, atau penjaga perbatasan, harus rela ditinggal lebih lama dari sebelumnya karena tugas.
Kerusakan rencana pengamanan daerah terjadi. Jalanan mulai dipenuhi masa, pembakaran ban di tengah jalan kota memperkeruh keadaan, batu-batu sekepalan tangan melayang menyerang, satu mobil polisi dirusak dan dibakar. Semuanya tak terkendali, keamanan tak mampu menahan amukan masa, hingga keputusan terakhir untuk melepas tembakan terjadi. Hari itu, kericuhan selesai dengan dua nyawa melayang sia-sia.
Serupa pemantik api, tiga hari kemudian, dua kota lainnya di bagian Utara mengalami hal yang sama. Pemberontakan mengenai aturan dan desakan warga yang ingin mengetahui tentang wabah dan penyakit tersebut cukup besar.
Empat hari kemudian, satu kota lagi di bagian Selatan mengikuti jejak tiga kota sebelumnya. Kali ini lebih parah, bukan lagi ban yang dibakar di tengah jalanan kota, melainkan fasilitas umum. Tiga halte, empat pos polisi, dua kantor pos, satu mobil polisi, dua motor dan alun-alun kota, semuanya dirusak sebagai bentuk kemarahan massa.
Demo besar-besaran bahkan tak berhenti ketika malam menggantung di atas kepala, sampai kemudian gertakan tegas dijatuhkan. Terjadi hal yang serupa di kota pertama, kali ini empat nyawa sia-sia terbuang.
Usai sudah masalah pemberontakan. Lima korban meninggal dunia rupanya mampu membungkam amarah. Beberapa kota yang akan mengadakan unjuk rasa tak meneruskan niat, orang-orang terlalu takut mati jika hanya untuk sepetak kepastian mengenai wabah dan penyakit. Merekapun tak mau hilang nyawa hanya karena masalah aturan yang belum terlalu tua.
Maka, berjalan dua Minggu sudah orang-orang hidup dikurung, tak terkecuali penduduk kota Riphia. Mereka menghemat makanan, minuman dan kebutuhan yang ada. Pemerintah memberi pasokan meski tak sebanyak sebelumnya. Orang-orang disibukkan dengan penghematan kebutuhan masing-masing. Untuk sementara, mereka seolah lupa dengan asal muasal semua ini. Tak ada lagi yang bicara tentang wabah aneh seperti saat berita tentang hal itu dimuat pertama kali.
Sampai kemudian, terjadi kecelakaan di satu tempat, yang tak jauh dari pusat kota. Dua mobil saling menghantam dari arah berlawanan. Belum tahu pasti apa penyebabnya. Orang-orang yang berada di sekitar lokasi tersebut berasumsi bahwa sang pengemudi pastilah meninggal di tempat. Tak ada yang membantah asumsi tersebut, sebab bagian depan dari mobil tersebut sama-sama hancur.
Ambulance datang dua belas menit kemudian. Tiga mobil polisi tiba tak lama setelahnya. Dua orang polisi dan petugas kesehatan mencoba membuka salah satu pintu pengemudi. Mereka akan mulai melakukan pengevakuasian ketika salah satu polisi yang berhasil membuka pintu pengemudi tiba-tiba terjatuh disertai dengan teriakan histeris.
Tak ada yang tau apa penyebabnya, orang-orang lebih memilih menjauh, beberapa mendekat untuk melihat lebih jelas, tetapi yang mereka lihat justru lebih mengejutkan.
Seseorang, yang pasti adalah korban kecelakaan tersebut, kini tengah menyerang polisi yang berhasil membuka pintu pengemudi secara paksa.
Dua petugas kesehatan yang tak jauh segera mendekat, salah satunya menarik korban untuk menjauhi polisi yang terbaring di aspal jalanan. Namun, hal tak terduga kembali terjadi, korban tersebut seperti mengganti sasarannya, kali ini petugas kesehatan yang menariknya juga diserang.
Tidak terlalu jelas, namun pasti, meski posisi korban membelakangi puluhan orang yang menonton kejadian itu dari awal, muncratan darah yang keluar tiba-tiba dari wajah diiringi teriakan yang lebih memilukan dari yang sebelumnya berhasil membuat waktu seolah terjeda untuk beberapa saat, namun di sepersekian detik berikutnya, keadaan berubah menjadi ricuh dan kacau.
Orang-orang yang mengerti bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi, mereka segera pergi, menjauh. Mereka terlalu takut, meski tak begitu paham dengan hal yang baru saja terjadi, orang-orang itu punya alasan yang cukup jelas untuk meninggalkan tempat tersebut.
______________________________
Kalau ada orang lain (selain aku tentunya) yang baca cerita ini, coba tulis di komentar, kalian nemu cerita ini di mana.
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST: Walkers
RandomSetelah pembantaian satu malam, perjalanan-perjalanan berikutnya adalah pengejaran terhadap harapan yang masih abu ditampung kabut. Mereka yang bertahan adalah buronan, sedang yang diam akan berakhir sia-sia. __ Dipublikasikan mulai tanggal 18 Agust...