THE LAST: Walkers (8)

19 3 0
                                    

     Melarikan diri, masuk ke dalam hutan yang tak mereka kenali, merupakan hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Samuel dan Ana tidak tahu di mana tepatnya mereka berada sekarang. Namun jika melihat ke belakang dan tak terlihat sedikit pun cahaya, maka sudah dipastikan mereka telah jauh dari penjara tempat mereka sebelumnya.

Kini, hanya dengan mengandalkan senter kecil yang Samuel bawa, keduanya berjalan dengan langkah lebar dan tergesa-gesa. Sesekali mereka melihat ke sekeliling, berharap mungkin saja mereka menemukan jalan untuk keluar. Namun, sudah sejauh ini, mereka masih belum bisa menemukan jalan yang mereka cari. Yang mereka temukan justru jalan-jalan kecil yang lebarnya hanya setapak, bercabang. Yang mereka lihat sebagian besar hanya pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar.

"Harus ke mana kita?" Ana bertanya dengan nada lelah. Ia menarik genggaman tangannya dari Samuel. Berhenti, menarik napas lalu mendekat pada pohon di dekatnya, menaruh tas bawaannya.

"Tidak, Ana. Jangan lepaskan tasmu." Samuel memaksa Ana membawa tasnya kembali. Rasa waspadanya tak menyurut begitu saja. "Kita tidak tahu ada apa di sekitar kita, bisa saja mereka menemukan kita dan kita harus berlari lagi."

"Kita sudah jauh dari tempat itu," jawab Ana. Napasnya tersengal, suaranya terdengar putus asa.

"Ya, dan kita tidak tahu apakah di sekitar kita ada hewan buas atau tidak. Dan jika ada, lalu mereka datang, kita harus tetap berlari membawa barang-barang kita. Masalah kita bukan hanya penculik itu saja kali ini." Samuel mendekat pada Ana, masih mencoba membuat Ana menggendong tasnya kembali di pundak.

Namun, Ana menolak. Ia menatap wajah Samuel dengan kebingungan bercampur putus asa. "Dari awal permasalahan kita bukan hanya mereka! Orang-orang itu membawa ayah dan ibu meninggalkan kita di dalam mobil. Apa itu bukan masalah menurutmu?" Ana bertanya dengan nada sedikit tinggi dan seolah tak percaya dengan apa yang Samuel katakan. "Jika kamu merasa keluar dari sana berarti mengurangi masalah, maka lihat di mana kita sekarang," sungutnya.

Ana mengalihkan pandangannya, enggan melihat wajah Samuel yang sama lelahnya.

"Itu yang aku maksud, Ana. Setidaknya lihatlah di mana kita, dan jangan memikirkan hal yang sudah terjadi. Ayah dan ibu baik-baik saja, kita melihat mereka baik-baik saja sejak terakhir kali," kelakar Samuel, yang kemudian hal itu justru membuat Ana terdiam di tempat. Tak bersuara, namun matanya memerah berkaca-kaca.

Tak mendapat jawaban atau respon apapun, Samuel memutuskan untuk mengalah. "Kau mau beristirahat? Fine! Kita berhenti di sini." Samuel bersandar di pohon yang lain, namun tak melepas barang apapun di tubuhnya dan tetap berdiri dengan senter di tangan yang mengarah pada wajah Ana. Dapat ia lihat wajah adiknya itu pucat, berkeringat meski udara malam saat ini begitu dingin. Ia melihat pula bagaimana pundak Ana yang bergerak cepat seiring dengan napas yang keluar masuk dari hidungnya.

Samuel menghela napas, mungkin karena lelah dan khawatir kepada orangtuanya, Ana menjadi sedikit sensitif kali ini. Samuel mencoba paham, ia pun merasakan hal yang sama sebenarnya. Tetapi saat ini bukan hal yang tepat untuk berlarut pada hal yang terlanjur terjadi.

Keselamatan dirinya dan Ana lebih penting daripada hal lain. Samuel merasa dirinya harus mengutamakan hal itu.

Untuk sesaat, mereka tetap pada posisinya masing-masing. Tidak bersuara, tidak saling melihat, tidak juga bergerak. Samuel diam dengan pikirannya yang berkecamuk, memikirkan apa yang tengah Ana rasakan, memikirkan ke mana ia pergi setelah ini. Sedang Ana, ia diam dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya sejak mereka melarikan diri. Ana tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan, namun yang pasti ia hanya takut. Setelah semua yang terjadi, ia tidak bisa begitu saja berpikir bagaimana mereka pergi menyelamatkan diri mereka sendiri.

THE LAST: WalkersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang