THE LAST: Walkers (7)

18 3 0
                                    


         Menangisi nasib tak akan membuahkan hasil. Setelah berjam-jam tergeletak di tengah hutan sendirian, merasakan sakit dan ngilu di sekujur tubuhnya. Saddam nyatanya masih bisa menjaga kewarasan. Kematian orangtuanya memang mengguncang emosinya. Belum lagi hal itu tak terjadi dengan semestinya.

Saddam menyesal, andai saja ia tak menuruti perintah ayahnya. Andai saja ia tetap di mobil bersama. Maka ia tak akan berada di sini, saat ini. Duduk bersandar pada pohon besar, berdiam diri. Saddam tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan selain hampa. Namun matanya tajam melihat bagaimana api di depannya menyala.

Melihat api itu, Saddam menjadi teringat sesuatu. Ketika berumur sebelas tahun, saat ayahnya mengajaknya untuk mengikuti kegiatan camping dari tempat kerja. Ayahnya mengajarkannya bagaimana membuat api tanpa korek api, mengajarkannya bagaimana mendapatkan air, membuat obat dari dedaunan dan tentu mengajarkannya pula bagaimana melindungi diri di hutan seperti saat ini. Ayahnya mengajarkan banyak hal. Selalu berkata bahwa suatu saat nanti, Saddam harus bisa melebihinya.

Ayahnya selalu berkata jika Saddam akan menjadi prajurit nantinya, bukan hanya menjadi polisi yang selalu berpindah-pindah tempat bertugas sepertinya. Saddam tersenyum. Kenangan selalu indah saat hanya diingat. Baginya, Ayahnya adalah segalanya. Begitu pula ibunya. Wanita yang paling mengerti dirinya.

Saddam mengusap kasar air matanya yang tiba-tiba turun. Sedih bercampur marah, ia merasa percuma menangisi hal yang telah hilang. Namun kembali lagi, hal yang telah hilang itu adalah orangtuanya. Maka Saddam mendesah pelan, tak menghiraukan perasaannya, ia kemudian melihat ke arah tas di sampingnya. Tas itu berisi makanan, air, korek api dan pisau kecil. Beberapa barang lain seperti jaket, senter dan obat luka juga ada di dalamnya. Semua barang-barang itu akan membantunya dalam perjalanan ini.

Saddam tersenyum, baru saja ia sadar bahwa ayahnya hanya menginginkan dirinya agar tetap hidup.

Lagi-lagi, Saddam meneteskan air mata. Dilihatnya beberapa barang dalam tas tersebut, sampai kemudian ia membuka salah satu resleting kecil, lalu mendapati sebuah dompet di dalamnya. Saddam mengernyitkan keningnya, dompet itu milik ayahnya, ayahnya tak pernah meninggalkan barang itu, selalu membawanya dan tak pernah lupa.

Dirundung rasa penasaran, Saddam berinisiatif membuka membuka dompet itu. Namun belum sepenuhnya ia membuka, suara mesin helikopter mengejutkannya. Saddam mendongak, mencari di mana tepatnya helikopter itu. Sembari memasukkan barang yang sempat ia keluarkan, ia mencari dari arah mana helikopter itu datang.

Lalu dari arah barat, daun-daun di atas pepohonan bergerak. Saddam berpikir itu pasti karena helikopter. Kemudian dari arah lain, suara langkah kaki berlarian terdengar. Saddam bergegas, bangun dari rasa keterkejutannya, ia langsung mematikan api yang dibuatnya. Ia mengangkat tasnya, kemudian bersembunyi di balik pohon besar. Merasa suara-suara itu semakin dekat ke arahnya, Saddam langsung berlari dengan kakinya yang pincang sebelah.

Meski kakinya masih terasa sakit, Saddam terus mengambil langkah, sebisanya ia melewati semak dan menyela di antara pepohonan. Sesekali Saddam mengayunkan kapak yang ia genggam erat, menebas belukar dan ranting yang menghalangi jalannya. Ia berusaha agar dirinya tak terlihat dari manapun, namun Saddam juga berusaha untuk tidak terlalu membuang energinya, mengingat kondisi tubuhnya kini tak baik.

Sesekali ia mendongak ke atas dan ke belakang, tak pedulikan langkah kakinya yang tak terarah, ia berusaha melihat di manakah helikopter tersebut. Lalu ia terus berlari, sampai kemudian suara mesin helikopter lama-kelamaan mulai menghilang.

Saddam mendongak, namun tak ada. Helikopter itu sudah pergi, begitu pula orang-orang yang berlari di belakangnya. Saddam membuang napasnya. Kemudian dengan sisa napas yang ada dan matanya yang sedikit berkabut, ia mendekat pada salah satu pohon di dekatnya, menjadikannya sandaran sejenak.

"Shit!" umpatnya.

Saddam mengedarkan pandangan, dahinya mengerut dalam sembari mulutnya menelan ludah, ia mengatur napasnya berulang, hingga beberapa detik kemudian ia sadar tempatnya saat ini masih mudah ditemukan. Maka Saddam menarik napas, tak peduli bagaimana rasa sakit yang meremukkan tubuhnya, ia lalu memutuskan untuk bergerak kembali, menjauh dari tempat itu. Namun kali ini ia tak berlari, tak tergesa seperti sebelumnya. Saddam berjalan meski langkahnya pelan karena pincang di salah satu kakinya.

Dalam setiap langkahnya, setiap detik terasa berharga, meskipun lelah melanda, tekadnya untuk melindungi diri semakin kuat. Kakinya membawanya pada sisi hutan yang semakin tak dikenal. Mengarahkannya pada bagian yang paling sunyi dan senyap. Saddam merasa ragu beberapa saat, namun ia sendiri tak tahu harus ke mana.

Maka ia terus melanjutkan, hingga tak terasa tiga jam lebih sudah ia berjalan, tubuhnya semakin melemas, keringat bercucuran, Saddam tak tahu sudah cukup kah ia menjauh, sudah cukup kah ia aman. Sebab tiga jam sudah terlewati, sudah banyak waktu yang Saddam buang, sudah banyak pula rencana-rencana yang telah ia buat.

Maka Saddam berhenti, ia menyalakan api keduanya hari ini. Setelah memastikan tempatnya aman, ia memilih beristirahat untuk mengobati beberapa bagian tubuhnya yang terluka, setelah itu, Saddam menyalakan api untuk memanaskan satu kaleng sarden dari tasnya, kemudian mengambil air dari sungai kecil untuk mengisi dua botol yang isinya sudah ia habiskan.

Tidak seperti sebelumnya, Saddam kali ini tidak hanya berdiam diri menatap api hingga matanya terasa panas. Setelah mengambil air, ia membuat penyaring air sederhana, tentu dengan bahan seadanya yang bisa ia temukan di tasnya. Lalu sembari menunggu, ia menggeledah lagi isi tasnya. Barangkali, ia bisa menemukan sesuatu yang bisa menghilangkan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.

Tetapi tak banyak yang ia temukan, barang-barang yang ada cukup untuk membuatnya bertahan dan kenyang dalam dua hari ke depan sampai ia keluar dari hutan. Ia tak menemukan obat pereda nyeri atau semacamnya. Saddam hanya menemukan obat-obatan untuk luka, ia juga menemukan sebuah peta. Ia membukanya begitu melihat benda itu. Ada dua yang ia temukan, yang satu merupakan peta Pulau Terium, yang satu lagi merupakan peta kota Rhipia. Ia memilih untuk melipat peta Pulau Terium, mengembalikannya pada asalnya, dan mulai mengamati peta kota Rhipia.

Untuk beberapa waktu, fokusnya hanya tertuju pada kertas di tangannya itu. Ia memang tak tahu harus ke mana, namun mungkin dengan peta, ia tahu ke arah mana ia harus pergi. Keluar dari Riphia, menyelesaikan apa yang ayahnya rencanakan.

Saddam menghela napas, ke mana tepatnya ia akan pergi belum ia tentukan. Mengingat sebelum ini banyak kota di Terium yang hancur, Saddam sangsi untuk langsung menentukan tanpa tahu bagaimana keadaan kota-kota tersebut. Terbesit dalam pikirannya jika ia akan kembali ke kota kelahirannya, namun rasanya tidak mungkin. Ia tak memiliki kendaraan, jika dengan mobil ia bisa menghabiskan enam jam perjalanan, maka dengan berjalan kaki akan menghabiskan waktu lebih banyak dari itu. Belum lagi dengan orang-orang yang di luar sana. Saddam yakin masalah terbesarnya adalah mereka.

Lagi pula, yang harus ia pikirkan saat ini adalah bagaimana ia harus keluar dari hutan Rhipia. Mengingat ia sudah terlalu jauh masuk ke dalamnya, maka keluar dari hutan bukanlah perkara yang mudah baginya. Saddam mendongak, menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Lalu begitu, ia sadar bahwa langit benar-benar akan gelap.

Saddam mengenakan jaketnya, membuang napasnya pelan, ia memutuskan akan melanjutkan perjalanan setelah langit benar-benar gelap. Ia telah pikirkan itu sedari tadi, keputusan itu ia buat setelah sebelumnya berpikir, jika pagi dan siang tadi ia telah dua kali melihat helikopter yang tengah berpatroli. Maka untuk perjalanan keluar dari hutan ini, Saddam harus menunggu hingga malam hari, dan itulah salah satu alasan mengapa ia berhenti di tempatnya kini.

Saddam mengedarkan pandangannya. Hutan ini benar-benar sepi. Hawa dingin sudah semakin terasa, Saddam melihat ke arah yang sebelumnya ia lewati. Dalam hatinya, ia berjanji tak akan melewati jalan itu lagi.  Sesuatu dalam benaknya merasa terluka karena itu.

Maka kemudian Saddam meraih tasnya, setelah memasukkan semua barang-barang, Saddam kemudian lanjut mengisi perutnya. Setelah terlantar di hutan, berjalan berjam-jam dengan kondisi kurang berdaya, Saddam perlu mengisi energinya.

____________________________________

Silahkan berkomentar, mungkin ada yang mau mengoreksi mengenai tanda baca, penggunaan kata, kalimat yang tidak efektif, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan cerita di atas.

Terima kasih!

31/7

THE LAST: WalkersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang