Api itu akhirnya menyala. Di dekat pohon besar, di balik semak belukar. Menerangi tiga remaja yang tengah menyeimbangi senyapnya hutan Rhipia.
Samuel memeluk Ana yang tengah terlelap di rangkulannya. Setelah drama singkat akibat menggigil hebat, Ana akhirnya bisa merasa hangat setelah tiga lapis jaket membungkus tubuhnya serta api yang berhasil menyala di depannya.
Tubuh Ana memang tidak terlalu kuat dengan hawa dingin, ia terbiasa dengan kehangatan suasana kamarnya. Terbiasa diperlakukan dan diberi fasilitas yang lebih dari cukup oleh kedua orang tuanya. Sebab itu lah, ketika kekacauan kota Rhipia terjadi, kejadian-kejadian saat ini membuat tubuhnya shock. Selama hampir tujuh belas tahun hidupnya, belum pernah Ana melakukan hal-hal yang membuatnya merasa begitu lelah hingga kedinginan hebat seperti yang baru saja terjadi.
Samuel memandangi sisi samping wajah adiknya, tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di benaknya, jika saja kedua orang tuanya mengetahui apa yang terjadi pada kedua anak mereka -khususnya Ana, maka sudah dipastikan orang tuanya tak akan tinggal diam. Ibunya sudah pasti akan berbicara banyak hal, mengoceh panjang lebar pada Samuel karena tak bisa menjaga adiknya. Menumpahkan kata-kata sayangnya pada Ana, membuat Ana merasa aman dan nyaman. Lalu Ayahnya, sudah pasti dengan alat-alat dokter serta resep obat akan berceramah mengenai mahalnya seseorang untuk hidup sehat.
Orangtuanya begitu sayang pada Ana, pun pada Samuel, meski tak terlihat begitu sama. Samuel tak merasa cemburu dengan sikap kedua orangtuanya. Ia paham, sebab Ana bukanlah anak kedua. Samuel ingat, ia seharusnya memiliki dua adik perempuan. Jika saja adiknya yang pertama -kakak perempuan Ana- bisa bertahan hidup dan melawan kanker yang ada di tubuhnya, maka kini ia memiliki dua saudara perempuan. Namun, sayangnya, adiknya itu tak bisa bertahan, hingga belum genap satu tahun umurnya, adiknya harus meninggal dunia.
Kemudian satu tahun setelah itu, lahirlah Ana. Kehadirannya berhasil mengobati luka kedua orang tuanya akibat kehilangan. Tetapi karena itu, orang tuanya menjadi protektif pada Ana, selalu memastikan Ana baik-baik saja, sehat dan tentu merasa nyaman di mana pun dan kapanpun.
Samuel menghela napas. Apa yang terjadi membuatnya dilanda kebingungan, ketakutan. Namun ia berusaha tidak memperlihatkan hal itu pada Ana. Jika Ana tahu apa yang ia rasakan, keadaan akan semakin terasa rumit. Samuel harus benar-benar bisa mengenali dan mengambil keputusan-keputusan secara tepat.
Ketika pemikiran itu muncul di otaknya. Pandangan Samuel secara otomatis bergerak menuju remaja di depannya. Seseorang yang beberapa waktu yang lalu menyerangnya kemudian mendebatnya. Tetapi setelah itu, Samuel sadar, remaja itu juga menolongnya dan Ana pula. Tidak hanya dari penjaga-penjaga penjara, namun juga dengan meminjami Ana jaket dan juga inisiatifnya menyalakan api untuk Ana.
Samuel tahu tidak seharusnya ia percaya pada orang asing di saat seperti ini. Namun, melihat remaja di depannya sekarang, mungkin Samuel bisa menaruh kepercayaan padanya, meskipun tak penuh, sebab penampilan remaja itu membuatnya ragu dan bertanya-tanya apa yang telah remaja itu alami sebelumnya.
"Siapa namamu?" Samuel bertanya setelah berpikir ulang untuk menanyakan hal tersebut. Matanya menatap lurus pada lawan bicaranya. Dapat Samuel lihat gerakan api di pantulan wajah lawan bicaranya.
"Saddam," jawab remaja itu.
Samuel mengangguk. Matanya menatap ke arah lain sebentar, kemudian kembali melihat remaja itu, Saddam. "Terima kasih," ucap Samuel. "Dan maaf," sambungnya. Samuel menggerakkan pundaknya kaku.
"Dua hari ini sangat sulit bagi kami. Aku tidak bisa begitu saja percaya pada orang lain." Samuel menatap kosong pada api yang masih menyala. "Orang-orang yang mengejar kami, adalah orang yang membawa kami ke penjara. Aku dibawa saat aku dan Ana berusahalah bersembunyi dari mereka. Aku tidak tahu, tapi mungkin mereka adalah orang-orang yang sama yang membunuh orang-orang di kota."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST: Walkers
RandomSetelah pembantaian satu malam, perjalanan-perjalanan berikutnya adalah pengejaran terhadap harapan yang masih abu ditampung kabut. Mereka yang bertahan adalah buronan, sedang yang diam akan berakhir sia-sia. __ Dipublikasikan mulai tanggal 18 Agust...