Thea Danatera
_______________Hampir tiga bulan lamanya bertahan hidup di kota Rhipia, Thea Danatera mulai mengerti sedikit demi sedikit karakter kota yang ia tempati saat ini. Kota minimalis dan rapi, berdaya formal bagi Thea yang hidup sembarang dan sesuka hatinya.
Rhipia tidak pernah tidak sibuk. Meski penduduknya tak sebanyak kota lain yang ada di Terium, kota ini dihuni orang-orang berjiwa pekerja keras dan pemikir handal yang tak akrab dengan istirahat dan diam. Dalam pandangan Thea, Rhipia berisi manusia-manusia ambisius yang bersembunyi di balik hutan, di seberang sungai Ambre yang terbelah menjadi dua.
Rhipia memiliki jadwal sibuk di dua waktu. Seperti kota lainnya, pagi dan sore hari, dan untuk hal itu, Thea belum terlalu akrab dengan kemacetan yang terjadi hampir setiap hari di kota Rhipia. Tetapi terlepas dari itu, pada dasarnya, Thea memang tidak pernah akrab dengan kemacetan, atau sesuatu yang berjalan lambat di sekelilingnya.
Maka dari itu, ketika lama sudah ia hanya duduk diam di balik kaca bus kota yang ditumpanginya, Thea tak ragu untuk berdiri dari duduknya. Ia merasa tak bisa terus diam dan hanya melihat bagaimana mobil-mobil berjajar mengambil jalan. Pikirnya, akan lebih cepat jika ia mengambil jalan pintas dengan berjalan kaki meski tempat tinggalnya masih setengah perjalanan.
Melepas earphone yang terpasang di telinganya, suara instrumen musik yang diputar di dalam bus langsung menyambutnya.
Thea kemudian berjalan menuju pintu keluar yang berada di dekat sopir bus. Matanya melirik beberapa penumpang yang lain, beberapa tidur, memakan snack, bermain bersama anak kecil, ada juga yang seperti dirinya sebelumnya, hanya diam melihat jalanan dari kaca jendela.
"Ingin keluar?" ucap sopir bus yang melihatnya.
"Ya. Apa bisa? Aku tidak bisa lebih lama menunggu."
Supir bus itu menghela napas, namun tetap menekan kunci pintu otomatis sembari berkata, "sebenarnya tidak bisa, tapi kemacetan hari ini memang membuat orang-orang tidak sabar. Tidak biasanya selama ini, ini bahkan sudah hampir gelap. Oh, hati-hati saat keluar. Aku melihat beberapa polisi mengendarai motor dengan cepat dari arah belakang."
Thea mengangguk tanpa menjawab. Tangannya bergerak meraih handle pintu bus, belum benar-benar keluar dari pintu, kebisingan seketika menyerbu telinganya. Tak hanya suara-suara klakson mobil yang terus bersahutan, ada suara orang-orang yang saling memaki, suara pengatur protokol otomatis yang hampir hilang dan dengung sirine yang semakin dekat.
"Aku pikir lebih baik berada di dalam bus!" Supir itu kembali berkata, namun lebih keras karena berpikir bahwa Thea mungkin saja tak bisa mendengarnya.
"Tidak. Aku harus pulang lebih cepat," jawab Thea. Supir bus itu kemudian mengangguk, tak berusaha menghentikannya lagi.
Thea kemudian melangkah menjauhi bus, berjalan menuju trotoar yang hampir sama padatnya dengan jalanan. Dalam hati ia menggerutu, Rhipia memang tak panas, kota ini bahkan memiliki temperatur suhu yang rendah, tidak ada debu atau sampah yang beterbangan. Namun tetap saja, kemacetan dan keramaian bukan hal yang dapat ia jadikan teman.
Selama kakinya terus melangkah, matanya tak henti mengamati kejadian di sekelilingnya. Thea mungkin bisa dikatakan sebagai remaja pendiam, umurnya sembilan belas tahun. Tak banyak bicara, namun ia adalah orang yang cukup peka dengan keadaan di sekitarnya. Kemacetan kali ini sangat berisik menurutnya, terlalu banyak suara-suara yang tak seharusnya ada, terlalu berlebihan. Namun demikian, Thea mencoba untuk tidak terlalu peduli, ia kembali memasang earphone di telinganya dan terus berjalan menuju tempat tinggalnya.
Tetapi tak lama setelah itu, Thea justru merasa aneh. Telinganya mungkin tak mendengar apa-apa selain lagu yang diputarnya, namun matanya tidak. Matanya masih bisa melihat jelas tanpa penghalang apapun. Thea menghentikan langkahnya. Beberapa meter di depannya, orang-orang berwajah panik berjalan cepat, beberapa berlari menuju arahnya. Seolah menjauhi sesuatu di belakang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST: Walkers
RandomSetelah pembantaian satu malam, perjalanan-perjalanan berikutnya adalah pengejaran terhadap harapan yang masih abu ditampung kabut. Mereka yang bertahan adalah buronan, sedang yang diam akan berakhir sia-sia. __ Dipublikasikan mulai tanggal 18 Agust...