Giante Samuel // Treanara Betana
______________________________________"Kenapa kita harus pergi meninggalkan rumah?"
Lima belas menit sudah mobil itu melaju di jalanan. Sebelumnya, tidak ada pembicaraan apapun di dalamnya, tetapi kemudian sebuah pertanyaan keluar begitu saja dari salah satu penumpangnya, Ana. Anak kedua, anak terakhir dan putri satu-satunya dari pasangan Terraluby dan Daston Dann.
"Ayah? Kenapa?" ulangnya.
Ana sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat bagaimana ekspresi Sang Ayah setelah mendengarkan pertanyaannya, namun setelah menunggu beberapa detik, Ayahnya tetap diam tak menghiraukannya. Kesal tak mendapat jawaban, Ana kembali pada posisinya, duduk bersandar di kursi yang ia tempati saat ini.
Membuang napas, Ana mengalihkan pandangannya ke jendela di samping kirinya, mengamati lalu lintas yang sedikit padat malam ini. Jalanan seolah sesak di balik kacanya yang tertutup rapat. Asap hitam dari beberapa truk besar yang mengangkut barang terlihat sesekali mengambil tempat. Mobil-mobil bermata terang seperti tak mau kalah merebut jalan.
Ana sedikit kebingungan. Tidak biasanya. Orang-orang terlihat sedikit rakus mengambil tempat malam ini. Seolah waktu mengikis jalan di belakang mereka, semua orang terlihat sibuk dan penuh di sekitarnya.
Samuel bergumam pelan ketika mobil Ayahnya mulai berjalan lambat, sebuah mobil hitam melesat cepat menerobos kemacetan. "Sepertinya bukan hanya kita yang terburu-buru," gumamnya. Meski begitu, Ana tetap dapat mendengar suara kakaknya itu. Keduanya saling melirik sejenak, namun Ana memutuskan pandangan lebih dulu.
"Atau, mungkin memang bukan hanya kita yang terburu-buru." Ana membalas asal, pundaknya terangkat singkat. Bibirnya mengerucut tanda bosan. Ia bersandar di sisi kaca, namun tak lama dahinya mengernyit ketika Samuel membalas jawaban asalnya.
"Ya? kalau memang bukan hanya kita yang terburu-buru. Lalu apa alasan semua orang terburu-buru?" Kalimat itu tak jelas untuk siapa, namun Ana berpikir keras setelah mendengarnya, membuatnya sedikit merasa gusar, apalagi ketika ia melihat bulir-bulir keringat di pelipis Ayahnya, gerakan-gerakan seperti mengetuk jari di stir dan decakan yang keluar dari bibir Ayahnya membuat Ana merasa ada sesuatu yang mengusik Ayahnya.
Ana menoleh ke samping kanan, Samuel, kakaknya itu sedang mengamati jalanan. Terlihat santai setelah melontarkan pertanyaan yang memberatkan otak adiknya. Ana menggelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikiran.
Untuk beberapa menit, ia tak menghiraukan apapun di sekelilingnya, tetapi, suara-suara di sekitarnya semakin bertambah bising. Semakin banyak kendaraan-kendaraan di belakangnya, semakin membuatnya sesak bahkan hanya untuk melihat. Ana tidak fokus saat ini, rasa gelisah tiba-tiba menjalar dalam sekejap.
Belum usai dengan itu, mendadak dua sorot lampu dari atas menarik perhatian. Dua helikopter terbang melewati mobilnya, sekitar lima ratus meter di depannya, helikopter itu menurunkan seseorang. Bersamaan dengan itu, suara sirine ambulance terdengar semakin dekat. Samuel menoleh cepat ke belakang, melihat dua ambulance dan empat mobil polisi melaju kencang dari arah yang sama. "Apa terjadi kecelakaan di depan?" tanyanya.
"Kecelakaan seperti apa yang membutuhkan dua mobil ambulance, empat mobil polisi dan dua helikopter sekaligus?" sambungnya. Samuel menegakkan tubuhnya, merasa gerah tiba-tiba.
Rasa penasarannya sama besarnya dengan orang-orang di sekitarnya, tak sedikit orang yang keluar dari kendaraannya masing-masing. Beberapa memaki karena kemacetan yang tak segera usai, beberapa lagi terus bertanya apa yang terjadi. Samuel mendesah, tidak ada dari ayah dan ibunya yang mengeluarkan suara. Ayahnya bahkan masih terlihat seperti tadi, cemas, resah dan panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST: Walkers
RandomSetelah pembantaian satu malam, perjalanan-perjalanan berikutnya adalah pengejaran terhadap harapan yang masih abu ditampung kabut. Mereka yang bertahan adalah buronan, sedang yang diam akan berakhir sia-sia. __ Dipublikasikan mulai tanggal 18 Agust...