Mataku bergerilya saat kupandang layar yang terhias paras lucu dan tampak sedap dipandang, rangkaian kecantikan tersemat pada setiap liku wajahmu, pipimu, matamu, bibirmu, rambutmu dan apa pun itu yang kamu miliki. Awal yang ramah dan terkesan biasa sebelum badai menghantam jiwaku yang lemah.
Aku tak terguncang dengan perlakuanmu di awal, yang kutahu kamu sosok baik yang hadir dalam setiap degup jantung pada pertengahan tahun. Gerbang masih terkunci rapat sebelum kamu dobrak dengan lembut yang gerbang ini roboh tak mampu bangkit kembali. Kita bersama dan bergurau saling mengenal, saling memperkenalkan dari daerahku maupun daerahmu, semua keadaan masih baik-baik saja, aku kagum denganmu dan kamu pun demikian.
Kamu insan yang kujadikan manusia yang ramah lagi seru dalam sebuah perbincangan sederhana, sehingga aku pun kerap kali sejenak menjeda pada saat dirimu muncul dalam paparan mataku. Namun aku masih saja bersikap biasa saja, terlebih aku sedang perang melawan masa, hingga aku mampu memenangkan perang tersebut. Kamu masih biasa saja, belum ada keinginanku untuk membuka gerbang hati yang masih terkunci dengan harapan ada seseorang yang pantas untuk menjaga kunci ini.
Album masih kosong, isi pun juga masih tak ada setitik tinta, sampul pun masih belum tersemat titik semua masih polos namun siap untuk terisi sebuah lembaran cerita. Aku masih melihatmu seperti bayi kerang yang imut lagi tak tampak bila kuberdiri di sebuah pantai dengan tamparan angin sepoi-sepoi, memandang samudra yang luas, kumenemukan sebuah bayi kerang yang berada di bibir samudra, aku tersenyum sepantasnya, dan terseret ombak pantai yang mengantarkan semakin ke tengah hingga bayi kerang itu bersama biota laut dan ribuan karang yang mengelilinginya.
Hamparan cerita yang melintas sederhana terkesan nyaman dengan hiburan kepolosan dirimu yang membuat goyah tawaku. Kita pernah sekedar berbincang merangkai sebuah kisah yang berjalan mengikuti sebuah alur cerita denganku yang mengamati dari jauh, dan kumasih tersadar tentang diri ini yang tak menjadikanmu sebuah impian, nam
un hanya mimpi dan terlupakan saat bangun, hanya sekedar angin yang mampir tanpa bisa diraih dan disimpan, hanya sepotong es krim yang mencair dengan sendirinya, aku masih belum gila, masih sadar pada sebuah keadaan.
Jiwaku masih mekar, dan kakiku masih tegak mengakar, sebelum sebuah jangkar yang kekar, menghantamku hingga terkapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELATI MUTIARA
Non-FictionIni kisahku tentang permata yang begitu indah dan kukenal hingga pada akhirnya aku mampu meraihnya. Bukan sekedar bertemu lalu bersamanya dengan mudah, namun ada bentangan yang menghadang sampai air mata, keringat menyelimuti dengan paksa. Awal ber...