Hastrat Kulayangkan
Mungkin terlalu cepat, mendadak, dan penuh kejutan, sampai membuatmu kaget saat mulut ini lantang mengatakan bahwa diri mengungkapkan sebuah argumen bahwa aku telah bertekad bulat untuk mencintaimu, karena aku menganggap bahwa kamu menyukaiku, dan aku pun telah belajar mencintaimu dengan serius, aku dengan sekuat tenaga berusaha untuk mampu mendapatkanmu, walau kamu berkehendak untuk menolak, aku tetap berdikari untuk terpaku di depan pintu hatimu. Kukira semua berjalan seperti semestinya, kamu menerimaku tanpa ada hal-hal yang menghalangi, tapi bagaimana mungkin sebuah usaha tanpa penghalang. Aku meluapkan perasaanku yang kau dengar dengan khidmat sehingga ada keraguan dalam dirimu, apa yang aku usahakan ternyata tak semudah mengedipkan mata.
Ada sebab tutur katamu menolakku, ada yang mengganjal dan sesuatu hal yang membuatmu ragu untuk menerimaku, dan ada rasa terkejut ketika kamu tahu aku suka padamu. Alasanmu yang begitu cepat dan tiba-tiba, seperti tak ada angin, layangan pun terbang, tak ada hal yang selalu muncul, tiba-tiba mengungkapkan. Tapi bagaimana bila rasa ini dengan yakinnya mampu memilikimu, bila tidak selamanya, setidaknya sejenak.
Begitu terkejutnya aku ketika kamu mengatakan padaku bahwa rasa suka yang ada dalam dirimu kepadaku hanya rasa kagum biasa, tak lebih seperti rasa cinta bagai sepasang burung yang terbang bebas bersama melewati sejuknya udara, namun kamu hanya kagum dan enggan untuk bersama-sama merangkai hubungan sehingga rasa ini mampu terbalaskan. Inilah aku yang lemas tak berdaya ketika kamu mengatakannya, setelah sekian aku menabung rasa agar mencintaimu, ternyata ketika cinta itu sudah membulat, kamu menolakku.
Ini kesalahanmu yang dengan mudah mengatakan dan kurang tepat dalam menyampaikan, sehingga aku terasa terbawa perasaan yang lebih, mempunyai harapan besar padamu. Aku meratapi nasib yang ternyata impianku tak sesuai dengan hal yang semestinya.
Ini juga kesalahanku, yang terlalu cepat dalam mengungkapkan tanpa membuatmu nyaman terlebih dahulu, ini kesalahanku yang terlalu terburu-buru dalam membulatkan rasa yang kuungkapkan dengan cepat, ini kesalahanku yang tanpa kerja sama dengan waktu sehingga aku berseteru dengannya, pada akhirnya aku yang sakit karenaku sendiri. Apakah aku menyerah? Awalnya aku pesimis untuk melanjutkan, namun itu tak kucatat dalam rumus hatiku, aku dengan yakin tetap ingin bersamamu.
Kamu meminta maaf, karena kamu merasa bersalah atas kesalahpahaman bahwa kamu menyukaiku, berkali-kali aku mengutarakan bahwa aku merasa sakit yang teramat sangat, dan kamu pun berkali-kali pula dalam mengungkapkan permohonan maaf, mungkin aku mudah memaafkan namun tak mengikhlaskan dengan mudah, walau kamu masih sejenak, namun aku telah memastikan kamu yang aku pilih, aku masih mampu ingat perkataan maafmu, walau kita hanya insan yang belum bertemu, dan aku merasakan bahwa banyak yang menyukaimu, namun aku menganggap bahwa itu tak seserius aku, dan aku pastikan dengan kuat bahwa memang aku yang layak memilikimu.
Aku terus berusaha menemukan jawaban tentang alasan mengapa kamu begitu mudah menolakku dan memilih untuk menjadi teman, kamu masih tak percaya bahwa aku mencintaimu karena kamu merasakan ini adalah sebuah permainan, hanya sekedar rasa suka yang mungkin akan hilang dengan sekejap. Walau aku hanya bisa melihatmu melalui layar HP, namun aku selalu berusaha untuk bisa berbincang dengan tanpa porsi, karena aku mencintaimu.
Aku mengadu kepadamu dengan mudah, dengan penuh perasaan yang kutumpahkan pada sebuah waktu yang telah direncanakan. Ujaran ini meletup dengan indahnya sehingga aku merangkai kata yang membuatmu jauh lebih nyaman, kupilih kata demi kata yang baik sehingga dengan kalimat yang kulayangkan mampu membuatmu tersenyum indah.
Aku meletupkan impian-impianku yang ingin memilikimu dengan penuh, namun itu benar-benar hanya menjadi mimpi dan ingin aku terbangun lalu mampu mengusap lembut tanganmu, membelai lembut di setiap helai rambutmu, mencubit pipi comelmu sehingga kita mampu beradu tawa di setiap waktu kebersamaan.
Ralat penolakanmu dan sunting bahwa kamu menerimaku, karena aku tak siap mendengar penolakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELATI MUTIARA
No FicciónIni kisahku tentang permata yang begitu indah dan kukenal hingga pada akhirnya aku mampu meraihnya. Bukan sekedar bertemu lalu bersamanya dengan mudah, namun ada bentangan yang menghadang sampai air mata, keringat menyelimuti dengan paksa. Awal ber...