Kecewa yang TersematKukira hubungan kita akan spesial dan kamu menjadi nafas di setiap degup jantungku, memang kamu memberi waktu bagiku, tetapi kamu hanya lewat di sekujur tubuhku, tanpa singgah dan menetap, tak apalah, mungkin semesta memang tak merestui kita.
Kamu datang ke tempat istirahatku dan kita mengobrol di pinggir jalan, berbicara dari hati ke hati, kamu baru bilang bahwa dahulu kamu suka teman kita sebelum aku datang untuk mengobrak-abrik hubungan kalian. Aku merasa sangat bersalah, aku berpikir bagaimana bila aku berada di posisi temanku yang menyukaimu, ketika dua orang saling mencintai dan datang seseorang yang merusak suatu hubungan, akan sangat tidak sopan pastinya, dari situ aku merenung, sebenarnya kamu bersamanya bahagia, bukan malah aku jadi perusak hubungan orang. Memang dia mengikhlaskannya, namun tetap saja aku melakukan hal yang bodoh. Ada rasa kecewa kepadanya yang kamu rasakan, sebab bila dia mencintaimu, kenapa dia tidak berusaha bertahan, tapi malah mengikhlaskanku bersamamu. Aku berusaha mencari waktu untuk meminta maaf, sehingga aku mencari waktu yang tepat sekaligus memastikan aku siap dalam meminta maaf dengan tulus. Pertengahan Juli aku menemuinya dan kujelaskan secukupnya, aku meminta maaf dan dia memaafkannya. Dia memberikan solusi sehingga aku mampu sadar langkah apa yang harus aku ambil berikutnya.
Aku mulai mengendap-endap menjauhimu, karena aku telah terserang oleh rasa kecewa yang menghantuiku, pikiranku menusuk telingaku hingga aku terngiang-ngiang pada ucapanmu bahwa semua usahaku ini berasal dari kamu, dan perintahmu itu adalah caramu agar aku mampu menjauhimu dan kita tidak terikat. Aku mengabulkan keinginanmu itu, aku akan berusaha menjauh membawa kekecewaan, biarlah luka ini yang menemaniku di setiap harinya, aku berdoa agar lukaku ini bisa digantikan dengan hal yang baik. Ikhlas menjadi doaku yang paling serius, sebab sampai detik ini aku belum mampu ikhlas pada semua yang kamu perlakukan padaku, hanya doa dan berpikir bagaimana jalan keluar agar aku mampu bernapas kembali dengan nyamannya, dengan sejuknya, dengan segala kebebasan yang menenangkanku.
Aku hampir setiap hari aku bermunajat untuk bisa diberikan yang terbaik, sebab aku telah berserah, apa yang kulakukan tak juga bisa membuat hatimu terbuka untukku. Aku memohon diberikan yang terbaik walau jika memang kamu tak bersamaku, aku ingin bisa mengikhlaskanmu dengan baik. Semakin hati ini berdoa semakin cintaku membara kepadamu, semakin aku berusaha untuk melupakanmu, semakin aku tersiksa dengan ingatanku kepadamu. Aku seperti orang gila yang tak tahu jalan ke mana yang harus kuambil, mata ini hanya bergerilya menelusuri sekitar. Kukira aku dewasa, bisa mampu berpikir dengan baik dan mampu menemukan penyelesaian perkara ini, namun berbulan-bulan aku meronta untuk bisa mendapatkan hatimu.
Merasa dewasa namun sering kesulitan dalam mendapatkan solusi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELATI MUTIARA
Non-FictionIni kisahku tentang permata yang begitu indah dan kukenal hingga pada akhirnya aku mampu meraihnya. Bukan sekedar bertemu lalu bersamanya dengan mudah, namun ada bentangan yang menghadang sampai air mata, keringat menyelimuti dengan paksa. Awal ber...