Lepas SangkarGerbang mutiara telah terbuka, sehingga sepasang gelatik saling mencengkeram cahaya
Selepas kita mengais ilmu, kita berkumpul di bawah pepohonan yang rindang lagi tenang bersama sahabat lain, kamu di sampingku dan aku dengan nyamannya kamu tersenyum sehingga kita foto bersama sekaligus kamu tuliskan ukiran lama di kulit tanganmu. Sekaligus aku memandangmu bagai mutiara dan kamu memandangku bagai penguin. Karena yang kamu tahu penguin adalah hewan yang setia, dan kamu mengibaratkan aku seperti itu. Sederhana namun itu begitu istimewa bagiku.
Yang menjadi prinsip sehingga sampai kusematkan adalah ketika kamu kesal denganmu, aku tak akan menunjukkan kekesalanku, sebab akan aku ubah dengan senyuman manis, bila itu sulit, mungkin sementara aku tenangkan pikiranku agar aku bisa selalu lembut kepadamu.
Kita menjalin hubungan dengan baik, berbagai hal kita lewati bahagia, dan masalah kita diskusikan bersama. Sampai akhirnya aku mendekar ajakanmu untuk menonton film di bioskop berdua, ya. . . berdua, itu seperti jarang kudengar saat kamu meluangkan waktu untukku, itu adalah saat terindah bersamamu yang pernah kulewati sampai saat itu.
Kita memilih hari Senin untuk kita meluangkan waktu di sebuah tempat yang megah. Kita berboncengan dengan aku memegang tanganmu dan kamu memeluk diriku. Di satu pekan kita memiliki status, kita tak bosan-bosan berpegangan tangan dan kamu berdandan cantik dengan kacamata yang kamu kenakan. Aku memasangkan helm dan kamu memasang raut wajah menggemaskan. Pipimu yang comel tak lupa dengan lembut kupegang.
Setelah di perjalanan yang macet, pada akhirnya sampai dan di tempat parkir aku melepaskan helmmu dengan pelan, bila diingat begitu indah, namun bila tahu kenyataannya aku tak bisa menyatu denganmu, adalah rasa sakit yang bertubi-tubi. Hampir sepanjang kita melangkah kita bergandengan tangan dan selalu kembali menyatu bila terpisah. Kita telah berada di lantai atas dan tersadar kacamatamu tertinggal di bawah, sehingga kita turun ke bawah bersama-sama, semua dilakukan bersama-sama, asmara yang tercurahkan di siang itu.
Setelah kita berputar mencari bioskop, pada akhirnya kita duduk bersantai, dan aku memegang tanganmu, sangat lama, tanganmu yang hangat disatukan dengan tanganku yang dingin. Puluhan menit termakan dan kita masih berpegangan tangan, aku yang berusaha untuk menatapmu lebih dekat, dan aku cium keningmu ketika kamu bersandar di lenganku, tampak harum rambutmu, lurus rambutmu, coklat rambutmu, semua aku menyukainya, dari matamu yang bulat, bulu matamu yang centik dan detak jantungmu yang berdetik. Aku tak berani terlalu banyak bergerak ketika kamu terdiam di zona nyaman. Tanganku berkeringat basah ketika hampir dua jam menggenggam tangan kuatmu, aku menyukai tanganmu, yang kuat, yang tangguh, yang berisi, yang cantik. Aku melihat luka di tanganmu yang membuatku selalu hati-hati saat memegangmu. Tanganmu yang kuat sempat mengalahkanku saat main panco, jujur aku merasa malu saat kalah karena seperti sia-sia aku mengikuti Gym.
Kita ada jam pembelajaran yang membuat kita tergesa-gesa untuk segera meninggalkan bioskop, dan aku masih ingin bersamamu, aku masih ingin menggenggam tanganmu, ingin bisa memelukmu, namun waktu selalu berjalan konsisten. Kamu terburu-buru dan kita mulai beranjak pergi.
Ketika kita telah turun jalan, kita merasakan teriknya matahari disertai gerimis yang semakin lama semakin kencang. Bajuku yang putih pada akhirnya basah, jalan yang macet membuatku bingung, apakah harus senang? Atau sebal, sebab aku ingin berlama-lama denganmu, namun aku tak ingin kita terlambat belajar. Aku tak lagi memegang tanganmu karena aku masih fokus pada jalan, dan berusaha untuk berhati-hati. Aku tak ingin kamu basah, sehingga aku mempercepat perjalanan. Pada akhirnya kita terlambat, dan aku tak menyangka saat itu menjadi yang terakhir bagi kita bermesraan.
Pembelajaran berlangsung dan hujan mulai reda, waktu pulang, kamu meminta maaf karena tak bisa mengantarku pulang, karena kamu harus mengantarkan sahabatmu. Aku kamu biarkan berjalan di sebuah jalan yang menanjak. Aku pulang membawa kekecewaan, tak menyangka kamu bisa setega itu. Begitu sakit hati kamu bersikap tak peduli seperti itu. Aku pun pulang dengan wajah kusam, merasa tak ada yang memedulikanku.
Kita berangkat bersama tetapi kamu membiarkan aku pulang sendirian.
Kita tak tahu bahwa waktu penuh kejutan, bisa jadi nanti jauh mengejutkan, dan bisa jadi jauh menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELATI MUTIARA
Non-FictionIni kisahku tentang permata yang begitu indah dan kukenal hingga pada akhirnya aku mampu meraihnya. Bukan sekedar bertemu lalu bersamanya dengan mudah, namun ada bentangan yang menghadang sampai air mata, keringat menyelimuti dengan paksa. Awal ber...