Sembilan ⚜️

370 77 2
                                    

"Kalian masih tidak percaya dengan kami?" Sunwoo bertanya sambil menghela nafas. Tangannya terangkat ke udara sementara Minju menggeledah isi kantong mereka.

"Ya. Kalian terlihat kurang meyakinkan." Isa yang menjawab. Ia duduk di meja panjang dengan kaki yang digoyangkan di sisi meja.

Chaeyoung terkekeh sambil menyesap minuman sodanya, memerhatikan Minju dan Yeji yang sibuk menggeledah empat petugas militer itu. Senapan mereka disita, bahkan pistol angin kecil mereka juga diamankan. Alat komunikasi mereka dimatikan, bahkan Minju mematikan radar pesawat terbang mereka, mencegah para petinggi The Roxyburgh melacak keberadaan mereka.

Yang terakhir diperiksa adalah Letnan Hwang. Begitu ia berdiri di belakang garis, Minju mendengus sebal.

"Kau benar-benar benci padaku?" tanya Hyunjin sambil merentangkan tangannya di udara. Gadis itu mulai menggeledah setiap isi kantongnya. Karena tubuhnya tinggi, ia harus menunduk demi melihat wajah sang gadis dengan jelas. "Aku bicara padamu, Nona Kim."

"Harusnya aku menghajarmu sampai tidak berbentuk malam itu, Letnan," sahut Minju. Ia tersenyum miring mengetahui wajah Hyunjin yang masih lebam dimana-mana. Begitu selesai, ia langsung berbalik dan meninggalkan Hyunjin.

Yeonjun menarik salah satu dari sekian banyak kursi kayu di meja panjang itu. "Kalian tidak menawarkan kami minum?"

"Kalian bahkan tidak diundang di sini," sahut Chaeyoung enteng, tanpa melepas pandangan dari kuku-kukunya yang sedang ia bersihkan.

"Markas siapa ini?" Kali ini Sunwoo bertanya. Ia ikut duduk di samping kaptennya, sementara dua temannya duduk di hadapannya.

Isa dan Chaeyoung duduk di seberang meja, agak jauh dari tempat mereka. Sedangkan Minju dan Yeji, sibuk di dapur. Isa yang duduk paling dekat dengannya menjawab, "The Four Greatest Ladies."

Hyunjin menghela nafas. "Kau sungguh perlu bertanya, Letnan Kim? Bukankah sudah jelas markas ini milik empat ilmuan itu?"

Bersamaan dengan itu, Yeji datang dari dapur dengan enam gelas minuman segar. Ia meletakkan nampan di atas meja, mengambil dua gelas, kemudian mendorong nampan ke arah para petugas militer. "Yah, markas ini milik kami sekarang," jawabnya sambil menekankan kata 'kami'.

Kali ini mereka telah berkumpul di ruang makan. Meja makan yang luas ini cukup membantu mereka untuk saling berjaga jarak, masih agak sensitif dengan satu sama lain —terutama Minju yang sepertinya siap melubangi kepala Letnan Hwang kapan saja.

Anehnya, para petugas militer itu lebih gelisah dibandingkan empat gadis itu. Lihat saja sekarang, mereka sedang makan kripik kentang pedas sambil membandingkan senapan militer dengan senapan yang mereka temukan di gudang markas.

"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?" Isa berdiri. Tangannya ia jadikan tumpuan di meja kayu, sementara tujuh pasang mata itu menatap gadis yang paling muda. Mata Isa yang selalu terlihat sendu, agak memicing sekarang, menandakan ia sedang serius.

Yeonjun menghela nafas. Ia melipat tangannya di atas meja kemudian menatap empat gadis itu bergantian. "Aku langsung ke intinya saja. Taeyong menyuruh kami untuk membunuh kalian."

Isa menelan salivanya kasar. "Lalu?"

"Sekarang aku paham kenapa kalian tidak mau diambil sampel DNA, kalian mewarisi genetik sempurna hasil rekayasa empat ilmuan itu."

"Mari kita sebut empat ilmuan itu dengan sebutan ibu-ibu kami," potong Chaeyoung, nada suaranya agak dingin.

Yeonjun mengangguk. "Baiklah, maaf. Hanya itu yang ingin aku sampaikan."

The Greatest LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang