Enam ⚜️

366 71 1
                                    

Satu tinjuan berhasil mendarat di rahang sang letnan, membuatnya tersungkur karena sakit membuat kepalanya pening. Melihat kesempatan itu, Kim Minju berlari sekuat tenaga, menyusuri lorong terbuka di lantai paling atas. Sedikit lagi sebelum ia sampai ke titik kumpul yang sudah mereka janjikan. Pengeras suara terus-terusan mengumumkan para murid untuk segera masuk ke asrama masing-masing dan akan dilakukan pengecekan seluruh ruangan, tentu saja ini kehebohan yang mereka ciptakan.

Pesawat tempur di ujung sana sudah menyala. Ia mempercepat langkah kakinya, mengingat Letnan Hwang juga mulai mendekatinya. Sialnya, Letnan Hwang memiliki fisik yang lebih baik darinya. Bagaimana bisa ia berlari secepat itu hingga berhasil menarik blazer biru muda yang ia kenakan?

"Argh!" Minju mengerang karena sang letnan tidak sengaja menarik rambutnya. Ia terpaksa berhenti dan sang letnan berhasil mengunci leher Minju dengan lengan besarnya.

"Menyerahlah, Minju," kata Letnan Hwang, berusaha menarik Minju menjauh.

Minju menarik nafas dengan kasar. Ia skak matt. Tenaga sang letnan jauh lebih kuat darinya. "Lepaskan aku, Hyunjin!"

Hyunjin mendecih. Ia berjalan mundur begitu memastikan Minju tidak cukup kuat untuk melawannya. "Mari bicara baik-baik, di hadapan kaptenku."

Belum sempat mencerna apa-apa, Hyunjin merasakan pukulan di kepalanya. Cukup keras hingga membuatnya tersungkur ke belakang, dengan Minju yang ikut terjatuh di atasnya. Oke, ini menyakitkan. Punggungnya menghantam lantai dengan keras, sedangkan dadanya tertimpa tubuh Minju yang cukup berat. Belum lagi, Minju menyerang dengan menggigit tangan Hyunjin, membuat pegangannya terlepas. "Argh! Gadis-gadis sialan!"

Minju sudah berhasil bangun ketika Hyunjin kembali menarik tangannya. Dengan sigap, gadis itu menendang wajah Hyunjin dan sang letnan kembali tersungkur. Minju berhasil melepaskan diri dan berlari mengikuti Yeji untuk masuk ke dalam pesawat.

"Bagaimana ini?" Yeji panik setengah mati. Pasalnya petugas mulai menyadari ada mesin pesawat yang hidup padahal tidak ada jadwal penerbangan hari ini.

Chaeyoung sudah menutup pintu pesawat ketika Letnan Hwang kembali bangkit di belakang sana. Ia melepaskan beberapa tembakan dari shot gunnya. Mereka diuntungkan karena semua teknologi The Roxyburgh dibuat dengan bahan anti peluru terbaik.

"Isa bagaimana?"

"Chaey! Kita tidak bisa meninggalkannya!"

"Tunggu dua menit lagi! Kita bisa menghajar Hwang Hyunjin!"

"CHAEYOUNG! TUNGGU ISA!"

Tiga menit berlalu, Isa baru sampai di titik pertemuan mereka. Pesawat sudah lepas landas dan tidak terlihat lagi —sejauh mata memandang. Panik? Tentu saja. Air mata terus mengalir dari pelupuk matanya, bahkan ia mulai teisak. Pasalnya sekarang bukan hanya Letnan Hwang yang menyadari keberadaannya, tapi Kapten Choi mulai terlihat di ujung lorong.

Dengan tenaga panik, Isa memanjat dinding tepi kapal. Karena landasan pacu pesawat menghadap ke belakang kapal, Isa bisa melihat baling-baling raksasa yang mendorong kapal di bawah sana. Ia juga meyakini laut akan langsung menariknya ke dasar jika ia loncat, atau lebih buruknya, tubuhnya akan tercabik-cabik oleh baling-baling raksasa.

"Nona Isa Lee turun! Kau tidak akan selamat jika melompat dari sana!" Suara Kapten Choi dari pengeras suara portabel yang ia bawa terdengar, seolah menggema di rongga dadanya yang kosong, menjadi silet tajam yang mengiris rungunya.

"ISA!"

Ia bisa mendengar teriakan Jay sepersekian detik sebelum tubuhnya melesat turun ke bawah. Tangan Jay bahkan berhasil mengapai pergelangan tangannya, tapi tidak berhasil menahan tubuhnya. Ia meloncat turun, dari lantai empat puluh enam sebuah kapal raksasa yang berlayar di tengah Samudera Pasifik. Ia lebih baik mati daripada tertangkap basah oleh mereka, manusia-manusia licik yang tidak punya hati nurani.

The Greatest LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang