Tiga belas ⚜️

349 70 3
                                    

"Jatuhkan senjata kalian!"

"Tidak mau," kata Sunwoo, setengah bercanda.

Seorang tentara yang melangkah maju menarik atensi mereka. Begitu ia membuka pelindung kepalanya, terdengar helaan nafas dari sang kapten.

"Kapten Choi Yeonjun," sapa sang tentara.

Yeonjun mendecak. "Kolonel Lee Jeno. Lama tidak berjumpa, kawan."

Yang dipanggil Jeno itu melirik sekilas ke arah para gadis. Ia mendengus sebentar. "Bersekutu dengan musuh? Bukannya kau paling benci itu?"

Senapan Yeonjun masih membidik ke arahnya. Ia terkekeh. "Mereka bukan musuhku, Kolonel."

"Melanggar perintah atasan hanya untuk melindugi empat gadis gila," lanjut Jeno. Ia mengangkat senapannya ke arah Yeonjun. "Jatuhkan senjatamu, Kapten."

Yeonjun masih bergeming. Tatapannya tajam menusuk ke manik Jeno. Oh, ayolah, bahkan luka lama itu belum sembuh total. Sekarang ia harus berurusan lagi dengan Lee Jeno.

"Kapten Choi!" bentakan Jeno terdengar menusuk telinga. "Ini perintah atasan. Jatuhkan senjatamu!"

Terdengar helaan nafas dari sang kapten. Ia menegakkan badan, kemudian mengangkat kedua tangannya di udara. "Rasanya menyenangkan menjadi atasan tanpa perlu berjuang, ya?" sindir Yeonjun. Ia terkekeh sekali lagi sebelum menunduk perlahan untuk meletakkan senapannya di tanah.

Jeno hanya bergeming. Ia tahu betul apa maksud dari kalimat itu.

"Jatuhkan senjata kalian," perintah Yeonjun kepada tiga anak buahnya,

Mereka mulai panik, tentu saja.

"Capt." Jay terdengar agak kurang yakin.

"Ini perintah Kapten, Sersan. Jatuhkan senjata kalian."

Mendengar itu, ketiga anak buahnya bergerak untuk meletakkan senapannya di tanah. Begitu dirasa aman, para tentara bergerak menarik mereka satu persatu.

Tangannya sudah ditahan dengan borgol, ketika tubuhnya didorong untuk mengikuti para tentara. Ia sempat melirik sekilas ke Yeonjun yang wajahnya terlipat kusut saat ini. Sementara tubuhnya ditarik ke dalam pesawat, Yeji menatap satu persatu temannya, wajah mereka tidak jauh berbeda dengan wajah sang kapten. Oh, ayolah, menyerah bahkan tidak ada di rencana mereka.

"Aw!" Minju meringis kala dirinya dipaksa untuk duduk di kursi pesawat. "Tadinya aku akan membiarkanmu tapi karena kau kasar dengan Isa, aku akan membunuhmu nanti."

Isa, yang semakin terlihat pucat, hanya mendengus di sampingnya. "Sudalah." Ia merebahkan kepalanya ke pundak Minju. "Kepalaku agak sakit."

Minju hanya menghela nafas. Tangannya terangkat untuk menepuk pipi Isa perlahan-lahan.

Pesawat lepas landas. Dan selama tiga jam kedepan, masih tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Mungkin angin pun bertanya-tanya, kemana perginya orang-orang yang selalu berbicara omong kosong lewat alat komunikasi jarak jauh, tadi?

Mereka mendarat di sebuah daratan yang digunakan sebagai rumah singgah para petinggi negara, termasuk Presiden Lee dan keluarganya.

"Apakah kita perlu membuang-buang tenaga untuk baku tembak kalau akhirnya kita menyerah?" Chaeyoung bertanya setelah ia duduk di salah satu kursi di depan sebuah meja besar, sedikit menyindir.

Yang lainnya tidak merespon. Mereka sudah cukup pusing saat ini. Ruangan berukuran 4x4 ini terasa lengang karena hanya para gadis yang masuk ke ruangan ini, sementara empat laki-laki lain diarahkan ke ruangan lain. Alat komunikasi mereka dicabut paksa, membuat keadaan semakin terasa sunyi. Mereka tiba-tiba rindu lelucon tidak bermutu milik Hyunjin atau Sunwoo.

The Greatest LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang