4. Alin dan Dunianya

73 48 6
                                    

Alin benci sekolah.

Ah, tidak. Mungkin bukan sekolahnya, melainkan orang-orang yang ada di dalamnya. Tadinya ia pikir bersekolah di sekolahan elit ini ia akan bertemu dengan anak-anak pintar dengan attitude yang baik, tipikal anak orang kaya yang sejak kecilnya sudah diajari sopan santun bahkan meski untuk hal sesepele cara makan sekalipun. Realitanya justru berbanding terbalik.

Alin tau tidak semua anak di sekolahan mahal memiliki karakter yang buruk dan semena-mena, pasti ada juga kok yang baik. Hanya saja Alin apes dapat sekolah yang isinya anak-anak nakal yang hobinya membully murid tak mampu sepertinya. Seandainya saja ia tau akan begini, Alin pasti menolak saat Tante Rahayu menyekolahkan dirinya di sekolah ini. Namun siapa lah dia, masih bisa bersekolah atas kebaikan Tante Rahayu dan suaminya saja seharusnya sudah membuatnya bersyukur.

Kedua orang tua Alin telah meninggal dunia. Penyebabnya adalah karena kecelakaan maut yang terjadi tiga tahun lalu, Tante Rahayu dan Om David adalah pelaku kecelakaan tersebut. Oleh karena rasa bersalah sekaligus tanggung jawabnya itu, mereka membantu menanggung hidup Alin dan adiknya sejak ditinggal mati orang tuanya. Pokoknya masalah tempat tinggal, pendidikan, uang jajan, dan sebagainya mereka berdua yang menanggung. Maka sudah seharusnya Alin bersyukur atas semua itu dan tidak kebanyakan protes.

Meskipun sejujurnya Alin ingin sekali pindah sekolah, yang biasa-biasa saja tidak masalah kok. Yang penting ia berada di antara murid baik yang akan memperlakukannya selayaknya manusia, bukan terjebak di antara titisan iblis seperti teman-teman sekelasnya itu.

"Good morning, parasit."

Parasit

Itu adalah panggilan khusus yang orang-orang sematkan padanya. Alasannya sudah jelas, karena ia hidup menumpang pada keluarga Tante Rahayu dan dianggap sebagai parasit yang harus dibasmi. Alin tidak mengerti dengan mereka semua, memang apa salahnya jika dia menumpang hidup pada keluarga yang menawarkan diri untuk membantunya bahkan tanpa ia minta?

Bukan Alin yang mau hidup menumpang layaknya parasit, tapi keadaanlah yang memaksanya seperti ini. Jika saja ia tidak menerima kebaikan hati keluarga Tante Rahayu, Alin dan adiknya pasti sudah putus sekolah sejak beberapa tahun lalu. Alin mungkin tidak keberatan jika harus putus sekolah, namun ia tidak tega pada adiknya jika harus berhenti bersekolah juga hanya karena tidak punya biaya. Maka dari itu ia menerima saja tawaran kebaikan dari keluarga Tante Rahayu. Toh, beliau melakukan itu juga karena ingin bertanggung jawab atas kematian orang tua Alin.

Jadi, tidak ada salahnya kan?

"Widihh, sepatu baru tuh. Kayaknya mahal." Shinta, salah satu dari 3 anak yang kerap kali membullynya berkomentar, diikuti tatapan orang-orang yang ikut melihat pada sepatu baru yang Alin kenakan.

Sepatu itu pemberian Tante Rahayu, tentu saja. Memang harganya mahal, dia tau itu.

"Beli sendiri atau dibeliin nih?" Jessie ikut menanggapi dengan nada curiga.

"Beli sendiri lah pasti, kan abis jual diri kemarin."

Ucapan Rani yang tak dimengerti Alin membuat teman sekelasnya tertawa. Ralat, mungkin tidak semua. Karena sebagiannya lagi bersikap tidak peduli. Alin pun tadinya ingin begitu, pura-pura tidak peduli dan membiarkan saja 3 perempuan itu berceloteh sesuka hati. Namun kerutan di keningnya langsung terlihat saat ia sampai ke tempat duduknya. Di atas meja, ada banyak sekali coretan-coretan dengan spidol merah tertulis di sana. Kata-katanya sangat kasar seperti lonte, jalang, pelacur, anak sialan, keparat, dan berbagai macam jenis umpatan lainnya.

Alin tidak mengerti mengapa ada tulisan-tulisan semacam itu di mejanya, padahal biasanya hanya sekedar sampah yang ditumpuk ke atas meja atau kain pel basah yang ada di sana. Mengerti dengan tatapan bingung Alin, ketiga gadis tadi mendekat mengerubungi mejanya.

Two WorldsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang