"Kavi bilang dia nemuin lo pingsan di pinggir danau, badan lo juga udah basah kuyup pas ditemuin. Kok bisa sih? Gimana ceritanya?"
Pertanyaan spontan Lail saat mereka makan malam bersama itu membuat Alin jadi ketar-ketir. Masalahnya ia bingung harus menggunakan alibi apa untuk mendukung kebohongannya, sebab mustahil ia jujur kalau Rani dan teman-temannya lah yang mendorongnya ke danau saat study tour berlangsung. Karena belum tentu juga kan mereka semua saling kenal?
"Eum, itu---" Sial, Alin tidak tau harus menjawab apa.
Keempat pemuda itu serempak menatapnya, menunggu jawaban. Sementara Alin melepaskan sendoknya saat sadar tangannya agak bergetar, keringat dingin mulai membasahi keningnya. Sebenarnya bisa saja ia mengarang jawaban, toh berbohong bukan hal sulit. Namun jika sambil ditatap begini Alin merasa seperti tengah disidang, yang kemudian membuatnya jadi takut salah bicara.
"Gue ... nggak begitu ingat." Jawabannya agak tidak masuk di akal memang, tapi setidaknya hanya itu yang ada di pikiran Alin sekarang.
Benar saja, keempat pemuda itu langsung menatapnya kebingungan dari berbagai sisi, kemudian berujung saling pandang. Kini tidak hanya keningnya saja, bahkan tangannya pun ikut berkeringat dingin.
Rion yang paling pertama bereaksi, "Lo nggak amnesia kan, Ra?"
"Benar. Tadi aja pas siuman lo kayak nggak ngenalin kita," Noah menimpali.
Namun Alin yang sudah lebih siap langsung buru-buru menyangkal, "Nggak kok, gue nggak amnesia. Emang sih tadi awalnya gue sempat bingung, gue juga nggak ngerti kenapa. Tapi sekarang gue ingat kok sama kalian. Rion, Lail, Noah, Kavi." Alin menyebutkan keempat nama teman Amara itu secara berurutan dari sisi kiri ke kanan, gadis itu kemudian tersenyum. "Iya kan?"
Lucunya, keempat pemuda itu mengangguk secara serempak. Senyum di wajah Alin kian melebar, dalam hati bersyukur sebab sebelum ke luar dari kamarnya tadi ia sempat menghapali dulu nama dan wajah teman-temannya Amara. Kebetulan mereka berlima punya grup chat yang beruntungnya semua anggota memakai foto wajah asli, jadi Alin bisa menghapal semua itu kurang lebih sepuluh menit sebelum turun untuk ikut makan malam.
"Syukur deh kalau lo nggak amnesia. Tau sendiri kan gimana khawatirnya kami pas lo hilang? Apalagi kalau sampai amnesia coba?" tanya Noah yang kemudian mendapat anggukan setuju dari ketiga temannya yang lain.
Rion ikut bersuara, "Lain kali kalau mau pergi kabarin yang lain dulu, Ra. Gue tau lo emang udah hapal jalanan sini, tapi tetap aja ada baiknya jangan jalan sendirian. Teman cowok lo di sini ada empat, lo bisa gunain salah satunya buat nemenin lo jalan."
"Betul, lo bisa ajak gue kok. Gue nggak akan keberatan juga. Dari pada tiba-tiba hilang kayak tadi bikin orang jantungan tau nggak?" timpal Lail dengan wajah yang dibuat kesal.
Tidak tinggal diam, Kavi turut angkat bicara. "Atau setidaknya bawa ponsel lo lah kalau mau pergi, biar kalau kenapa-kenapa di jalan lo bisa langsung hubungin kami. Atau orang yang mungkin nggak sengaja nemuin lo bisa langsung ngehubungin kami, sinyal di sini juga nggak jelek-jelek amat."
"Iya, gue ngerti. Maaf udah bikin kalian semua khawatir ya?"
Alin memandangi satu persatu wajah keempat pemuda itu dan memberikan senyum terbaiknya dengan maksud menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, mereka tidak perlu khawatir lagi. Ya meskipun ia tau kalau kekhawatiran tersebut ditujukan untuk Amara, namun karena ia yang berada di sini maka Alin anggap kalau mereka sedang mengkhawatirkannya sekarang.
'Lagi-lagi gue iri sama Amara. Beruntung sekali dia bisa punya teman seperhatian ini, nemu di mana?' Alin bertanya-tanya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Worlds
Fiksi RemajaApakah kamu percaya tentang adanya dunia paralel? Alin awalnya tidak percaya. Namun kejadian saat ia tenggelam dan diselamatkan oleh seorang gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengannya, Alin mengubah pemikirannya tersebut. Karena begitu ia terb...