13. Beradaptasi

31 6 2
                                    

Berbeda dengan Amara yang bisa langsung menerima keadaannya yang terjebak di dunia antah-berantah ini, Alin justru sebaliknya. Dia masih kelihatan begitu terkejut dengan apa yang terjadi, dan perlu waktu baginya untuk menerima ini semua.

'Gue nggak mau terjebak di dunia ini.'

Kehidupan Amara jelas tidak terasa menyenangkan. Video perundungan yang ia lihat di room chat Amara bersama teman-temannya, juga melihat bagaimana Rani rela bersimpuh di hadapannya untuk meminta maaf, Alin bisa langsung tau bagaimana buruknya reputasi Amara di sekolah ini. Gadis itu bukan gadis dengan kepribadian yang baik, Alin tidak mau menjalani kehidupan sebagai sosok yang jahat di dunia orang lain.

Bukan berarti Alin merasa dirinya baik dan sok suci, hanya saja Amara jelas berada di level yang berbeda. Tindakan Amara bukan hanya dikategorikan sebagai kenakalan remaja, namun bisa jadi malah berujung pembunuhan yang disengaja. Bahkan ada satu video di mana Amara memukuli korbannya hingga tak sadarkan diri, sampai separah itu yang dia lakukan. Itu baru salah satu video, bisa saja kan mereka melakukan hal itu berulang kali tapi sengaja tidak diabadikan. Alin merinding sekali membayangkan berapa banyak korban yang sengsara karena kelakuan Amara dan teman-temannya tersebut.

Kelakuan Rani dan kedua temannya mungkin tidak kalah jahat, tapi Amara jauh lebih parah dari itu. Bahkan dia tidak bisa dibandingkan dengan siapapun yang Alin kenal.

Ngomong-ngomong Rani, saat ini Alin sedang memandangi gadis itu yang duduk sendirian di salah satu meja kafetaria. Letaknya ada di sisi kiri, agak jauh dari meja Alin yang berada di sebelah kanan. Dari yang Alin ketahui, letak meja di kafetaria itu ada aturannya. Sebelah kiri khusus untuk anak-anak beasiswa, sementara di sebelah kanan diperuntukkan untuk murid-murid borjuis seperti Amara dan teman-temannya. Iya, di sekolah ini kasta tertinggi maupun terendah bisa terlihat dengan amat jelas. Hal yang bikin Alin kontan melongo saking tidak percayanya.

"Ngeliatin apa?" Rion yang duduk di sebelah Alin menyenggol pelan lengan gadis itu, sekaligus menyadarkannya dari lamunan.

Alin menggeleng kecil, "Nggak ngeliatin apa-apa," kemudian lanjut makan.

Lail tampak mengerutkan kening saat menatap Amara di depannya, "Akhir-akhir ini lo banyak melamun, Amara. Ada masalah?"

Pertanyaan Lail mengundang berbagai tatapan di meja itu. Kavi yang sebelumnya sibuk makan saja sampai ikutan mendongak dan turut menatap kearahnya karena penasaran, begitu pula dengan Noah dan Rion.

"Ra, lo baik-baik aja?" Noah bertanya, wajahnya ketara sekali sedang khawatit.

"Eh, nggak kok. Gue baik-baik aja," kilah gadis itu.

Rasanya aneh sekali jika diperhatikan begini. Biasanya cuma Jiwa yang bersikap begitu padanya, tapi sekarang dia punya empat orang lain lagi yang melakukan hal selayaknya Jiwa memperlakukannya selama ini. Bukan Alin tidak suka, hanya saja rasanya begitu asing.

Teman-temannya di sekolah bahkan tidak mau repot bertanya mengenai keadaannya meskipun di saat bersamaan mukanya pucat karena sedang sakit, atau tubuhnya terluka karena habis jatuh. Teman-temannya di sekolah tidak ada yang mau repot peduli padanya, meskipun hanya sekedar pura-pura.

Ngomong-ngomong luka, Alin jadi teringat kondisi lututnya. Ia menaikkan sedikit kain roknya, yang entah kenapa begitu pendek saat digunakan, dan menemukan adanya bekas luka di sana. Bekasnya tidak terlalu lebar memang, tapi karena warnanya agak mengganggu makanya Alin tutupi dengan plester luka sewarna dengan kulitnya. Itu sengaja ia lakukan karena malas ditanya-tanya kalau keempat teman Amara ini sampai melihat keadaan lututnya tersebut. Alin sudah terlalu sering berbohong, ia tidak mau kalau itu malah jadi salah satu kebiasaannya nanti.

Two WorldsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang