18. Peringatan

17 5 3
                                    

Awal bertemu dengan Jiwa, Amara merasa begitu asing. Namun setelah berminggu-minggu satu rumah dengannya, ia mulai menyadari sesuatu bahwa sosok Jiwa sebetulnya tidak seasing itu. Jiwa mirip seseorang yang di masa lalu begitu dibencinya, wajah itu sekilas mirip dengan seseorang yang ia harapkan tak pernah terlahir ke dunia. Wajah milik sang adik, Dika.

"Ada yang salah ya, sama muka aku?" Jiwa bertanya, sepenuhnya bingung karena sejak tadi Amara memandanginya terus-menerus.

Saat ini keduanya sedang duduk berdampingan di sofa ruang tengah. Jiwa semula sibuk mengerjakan PR, sementara Amara memainkan ponsel baru yang dibelikan Ale beberapa jam lalu.

Gadis itu menggeleng pelan, lalu kembali sok sibuk dengan ponsel di tangannya. "Bukan apa-apa sih, gue cuma baru sadar aja muka lo mirip seseorang yang gue kenal."

"Oh ya? Berarti Kak Amara ketemu sama orang yang mirip aku dong di dunia kakak?" Jiwa mendadak antusias, buku tulisnya yang terbuka kini sepenuhnya terabaikan.

"Nggak usah terlalu senang, lagipula dia udah mati kok delapan tahun yang lalu."

Senyum Jiwa seketika luntur, "Kenapa? Kok bisa?"

"Mati tenggelam."

Anak itu mendadak diam, kata 'mati tenggelam' perlahan memenuhi isi kepalanya. Jiwa tidak bisa untuk tidak kepikiran sosok sang kakak. Sebab terakhir kali Amara cerita, dia berkata bahwa Alin tenggelam di danau dan diselamatkan oleh gadis itu. Tidak, bukan Jiwa berpikir Alin mati tenggelam seperti halnya orang yang Amara kenal. Jiwa cukup yakin kok kalau kakaknya masih hidup sampai sekarang, setidaknya itu harapannya.

"Kok diam? Gue pikir lo bakal kepo tentang siapa orang yang gue maksud," Amara menaikkan satu alisnya, merasa heran.

Sejujurnya Jiwa tidak begitu penasaran lagi, kepalanya sibuk memikirkan kondisi Alin saat ini. Tapi ia juga tidak enak hati jika mengabaikan Amara, jarang-jarang kan dia mau terbuka begini selain saat ditanya?

"Siapa orangnya?" Pada akhirnya, Jiwa memutuskan untuk bertanya.

"Adik gue, namanya Dika."

Amara mengatakan itu tanpa beban, seolah tak ada sebentuk kesedihan di nada suara juga ekspresinya yang cenderung datar itu. Malah Jiwa yang merasa tak nyaman, ia buru-buru menoleh pada Amara disertai wajah bersalah.

"Maaf," katanya.

"Kenapa lo minta maaf?"

"Karena udah bikin kakak keingat lagi sama almarhum Dika."

Konyol, ucapan Jiwa membuat Amara seketika tertawa geli. Untuk hal sesepele itu, kenapa juga harus minta maaf sih?

"Santai aja, lagipula itu nggak berpengaruh juga kok buat gue."

Mendengar penuturan Amara tentu saja membuat Jiwa mengerutkan kening, "Kak Amara nggak sedih emang? Biasanya, orang lain bakal sedih kalau mengingat kematian seseorang. Apalagi kalau itu keluarga kakak sendiri."

"Nggak sih, gue malah senang dia mati. Malah harusnya, dia nggak perlu terlahir aja sekalian."

"Kenapa kak Amara ngomong begitu?"

"Gue benci dia, emangnya kurang jelas?"

Gelengan kepala adalah apa yang selanjutnya dilakukan Jiwa. Pemuda itu sepenuhnya bingung, wajahnya kelihatan polos sekaligus penasaran. "Kenapa kak Amara membenci adiknya sendiri?"

"Kenapa juga gue harus sayang sama dia?"

"Pertanyaan itu harusnya dibalas sama jawaban, bukan malah pertanyaan balik." Jiwa mencoba meluruskan. Anak itu menutup buku dan merapihkan alat tulisnya yang berserakan di atas meja, topik kali ini membuatnya kehilangan minat untuk lanjut mengerjakan PR. Biarkan saja, masih ada hari esok kok. Namun rasa penasarannya ini tidak bisa jika harus menunggu sampai besok. "Jadi, apa alasannya?"

Two WorldsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang