8. Bertukar peran

56 36 11
                                    

Dokter bilang tidak terdapat luka apapun di kepala Amara, apalagi sampai amnesia. Gadis itu murni baik- baik saja sekarang, namun Jiwa ngotot berkata pada dokternya bahwa kakaknya itu lupa ingatan.

Amara mengunyah potongan apel dengan santai sembari menonton Jiwa berdebat dengan sang dokter. Jiwa begitu bersikeras menjelaskan keanehan Amara tersebut, sampai dokternya berkata bahwa mereka akan melakukan tes MRI jika diperlukan supaya Jiwa percaya. Amara yang mendengar itu langsung buru-buru menyanggah.

"Nggak perlu, Dok. Saya baik-baik aja kok."

Ucapannya itu jelas langsung ditentang oleh Jiwa, "Kak!"

"Apa? Gue beneran baik-baik aja."

Mendengar jawaban Amara membuat si dokter langsung bernapas lega. Jujur saja dia sendiri cukup kewalahan meladeni kengototan Jiwa perihal keadaan kakaknya, padahal sudah dilakukan pemeriksaan berulang kali pada gadis itu dan tidak ada hasil yang mengarah pada amnesia ataupun luka berat di kepala. Bahkan bagian tubuh Amara semuanya mulus tanpa luka sedikit pun, mustahil gadis itu bisa tiba-tiba amnesia.

Selagi kedua kakak beradik itu berdebat, dokter tadi memutuskan untuk pamit undur diri pada Ale yang sejak tadi hanya menyimak. Setelahnya di ruangan itu hanya tersisa mereka bertiga, juga Jiwa yang akhirnya menyerah mendebat kakaknya.

"Gini aja deh, gue minjem ponsel lo sebentar."

Alis Jiwa terangkat satu, "Buat apaan emang?"

"Nelpon temen gue, mereka pasti khawatir karena gue udah ngilang terlalu lama."

"Teman?" Ale berjalan mendekati ranjang pasien dengan ekspresi bingung. "Emang sejak kapan lo punya teman?"

"Kayaknya di sini yang amnesia lo deh, bukan gue." Amara menatap pemuda itu dengan tatapan sinis, sementara Ale makin kebingungan. "Lo lupa siapa yang nontonin gue sewaktu mukulin lo di belakang sekolah kalau bukan teman-teman gue?"

"Mukulin? Alin, lo bahkan nggak bisa berantem. Lo mana tau caranya mukul orang. Gue rasa sejak kecebur di danau lo jadi kebanyakan halu deh."

Alin lagi Alin terus, lama-lama Amara muak mendengar nama itu. Sudah dibilang namanya Amara kenapa orang-orang ini terus memanggilnya Alin sih?

Lagipula siapa itu Alin? Apa wajah mereka begitu mirip sampai-sampai Jiwa dan Ale mengira dia itu Alin?

Sebentar, jangan bilang Alin itu cewek yang tadi dia tolong di danau?

Kebetulan Amara tidak terlalu jelas mengingat wajah gadis itu, dia juga tidak sadar kalau ternyata mereka punya kemiripan. Ditambah lagi keadaannya saat itu sedang panik. Alih-alih fokus memperhatikan wajahnya, Amara lebih fokus untuk mencari cara menyadarkan gadis itu atau bergelut dengan pikirannya sendiri untuk meninggalkan gadis itu di sana tanpa pertolongan yang berarti.

"Ck, malah melamun!" cibir Ale yang kini beralih duduk di sofa ketimbang berdiri di samping ranjang Amara.

Gadis itu tidak menaruh banyak perhatian pada Ale, sebab menurutnya pemuda itu tidak terlalu penting. Amara lebih fokus pada Jiwa yang kini menatapnya dengan mata bulat lucunya itu.

"Ji, lo ada nyimpen foto cewek itu nggak?"

Jiwa yang bingung cewek mana yang dimaksud, lantas bertanya. "Cewek siapa, Kak?"

"Itu, si Alin."

"Lah, kakak kan Alin. Ngapain nyariin foto kakak sendiri?"

"Ck, jawab aja lo punya atau nggak. Jangan bertele-tele!"

Harusnya ada yang salah dengan kepala kakaknya, atau air danau tadi mengandung sesuatu yang bisa membuat pikiran orang jadi kacau? Setidaknya itu yang ada di pikiran Jiwa sekarang.

Two WorldsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang