"Kak Amara pacaran sama kak Bian??"
Oh, ayolah. Sudah cukup sakit telinga Amara mendengar pertanyaan serupa dari orang-orang di sekolah, harus banget di rumah ditanyain hal yang sama pula? Seperti tidak ada pertanyaan yang lain saja.
Jiwa makin mendekat pada Amara, duduk di atas ranjang si gadis yang sok sibuk dengan ponselnya. Sengaja tak memperdulikan Jiwa juga pertanyaan tak bermutunya itu. Hanya saja, Jiwa tidak menyerah. Ia meraih ponsel di tangan Amara dan menyembunyikannya di balik punggung. Si empunya kontan berteriak kesal.
"Jawab dulu, main hapenya bisa nanti."
"Harus banget apa dijawab?"
"Ya harus lah!"
"No komen."
"Kaakkkk..." Jiwa mulai merengek, tapi Amara benar-benar tidak peduli.
Sambil memutar bola matanya, Amara bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar. Oh, tentu saja si jangkung Jiwa langsung mengekor. Pemuda itu tidak menyerah dengan mudah rupanya, terutama untuk hal seperti ini. Masalahnya, Jiwa benar-benar dibuat shock jika sampai rumor yang beredar luas di sekolahnya itu ternyata benar. Kurang lebih baru sebulan Amara di sini, masa iya langsung bisa menggaet hati si ketua OSIS sekolah mereka sih. Malahan Jiwa pikir, Amara tidak berteman dengan siapapun di sekolah. Kok bisa gitu tiba-tiba dirumorin pacaran sama Bian?
"Kak Amara..."
"Berisik ah, Ji!"
"Makanya jawab dulu, jangan menghindar."
"Pertanyaan lo nggak berbobot, males gue."
"Jawab aja kenapa sih?"
"Kepo!"
"Ada apa nih?"
Di sisa anak tangga terakhir, keduanya kontan bersitatap dengan sosok Ale yang baru saja masuk dari pintu depan. Dengan tubuh basah oleh keringat, juga sebelah tangan menggendong bola basket, Ale menatap keduanya dengan tatapan heran. Jiwa tidak begitu memperdulikan, sementara Amara memandang jijik pada keringat yang membasahi tubuh Ale. Ini sudah pukul sembilan malam, dan Ale baru pulang sehabis bermain basket dengan teman-temannya.
Amara mendengus, lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur. Segelas air dingin dari dispenser adalah tujuan utamanya. Namun, langkahnya sepenuhnya terhenti saat Ale tiba-tiba bertanya.
"Oh, iya. Lo pacaran sama Bian ya, Ra?"
"Arghhh ... kalian berdua bisa nggak sih berhenti nanyain itu? Kepala gue udah cukup sakit dengerin anak-anak di sekolah nanyain pertanyaan yang sama!" Tidak tahan lagi, Amara akhirnya ngamuk juga. Gadis ini benar-benar punya masalah dalam hal mengelola emosi.
Jiwa cemberut di sampingnya, "Jadi gimana? Kalian beneran pacaran ya?"
"ENGGAK, ASTAGA, ENGGAK!" Si gadis memijat pangkal hidungnya sambil lanjut jalan menuju dispenser berada, "di sekolah juga gue udah berulang kali bilang kalau gue nggak pacaran sama Bian. Please, berhenti nanyain itu terus!"
Kali ini Ale melangkah lebih ringan, senyumnya mengembang tanpa sadar. "Bagus kalau gitu, gue harap lo emang nggak melibatkan diri lo sama tuh cowok."
"Emang kenapa?" Bukan Amara, yang bertanya barusan malah Jiwa. Sementara si gadis sibuk menghabiskan segelas air di tangannya, tidak tampak peduli dengan apapun pendapat Ale.
Si pemuda bola basket itu mengedikkan bahu, "Gue punya firasat kehidupan Amara bakalan makin ribet kalau berurusan sama Bian. Lo tau kan gimana Bian di sekolah dan seberapa banyak fangirl-nya?"
"Astaga, iya!" Jiwa buru-buru menoleh pada Amara. "Kak Amara baik-baik aja kan?"
Kening si gadis berkerut dalam, "kenapa emang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Worlds
Teen FictionApakah kamu percaya tentang adanya dunia paralel? Alin awalnya tidak percaya. Namun kejadian saat ia tenggelam dan diselamatkan oleh seorang gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengannya, Alin mengubah pemikirannya tersebut. Karena begitu ia terb...