Di dunianya maupun di dunia Amara, Maraka Albian tidak jauh berbeda. Selain karena wajahnya yang sama persis, karakter keduanya juga mirip. Hanya ada sedikit perbedaan saja.
Jika di dunianya Bian adalah ketua osis, di dunia Amara pemuda itu adalah ketua kelas. Bian juga tidak banyak bicara, lebih banyak aksi ketimbang suara. Hanya saja di sini Bian terlihat lebih dingin, dia juga tidak banyak menyapa Alin ataupun bersikap sok akrab dengannya seperti Bian yang biasa Alin kenal. Entah mungkin sifatnya memang begitu, atau bisa jadi karena Bian tidak seakrab itu dengan Amara meskipun berada di kelas yang sama.
Selama hampir dua minggu ia sekelas dengan Bian di sini, Alin nyaris tidak pernah bertegur sapa dengannya. Jika berpapasan pun, pemuda itu akan melengos begitu saja seolah sosok Alin ini tidak terlihat. Maka dari sana timbul asumsi bahwa Bian dan Amara memang tidak cukup dekat meski sekedar untuk menyapa lewat senyum di bibir mereka.
"Lo kerjain nomor 16 sampai 20 aja," ucap Bian seraya melingkari nomor soal matematika di layar iPad-nya dengan stylus pen.
Kebetulan keduanya memang ada kerja kelompok matematika, mengerjakan soal pilihan ganda yang berjumlah 20 butir. Kali ini Alin sekelompok dengan Bian, karena ia tidak bisa memilih anggota kelompoknya sendiri. Sebab semua murid sudah ditentukan kelompoknya oleh guru. Maka dari itu ini merupakan interaksi paling dekat keduanya semenjak Alin bertransmigrasi ke dunia ini.
Soal matematika di depannya itu membuat Alin seketika mengerutkan kening. Bukan karena dia tidak paham cara mengerjakannya, tapi karena heran mengapa Bian mengambil lebih banyak soal untuk dikerjakan sendiri. Bukankah ini kerja kelompok, seharusnya pembagian soalnya harus adil dong ya.
"Kenapa gue cuma dikasih lima soal?" Akhirnya Alin memberanikan diri untuk bertanya.
Kacamata bulat di batang hidung Bian dinaikkan ke atas oleh si empunya, agaknya itu kacamata baca karena sehari-harinya Bian tidak memakai kacamata tersebut selain saat belajar di kelas atau mengerjakan tugas seperti sekarang.
"Kenapa? Kebanyakan ya? Yaudah kerjain aja sebisa lo dulu, satu juga nggak apa-apa kok asal tetap kerja."
Lagi, kening Alin berkerut bingung. Ia memandang pemuda di depannya ini dengan tatapan kesal, menyebalkan sekali rasanya jika diremehkan begitu. Tolong ya, Alin tidak sebodoh itu dalam pelajaran matematika!
"Gue kerjain dari nomor sebelas sampai dua puluh, lo nomor satu sampai sepuluh. Biar adil," putus Alin kemudian.
Kepala Bian yang semula tertunduk karena sibuk menghitung di kertas coretan, seketika mendongak mendengar keputusan Alin yang terkesan aneh menurutnya.
"Lo yakin bisa ngerjain sepuluh soal?" Bian memastikan, kacamata bulatnya dinaikkan lagi karena melorot dari batang hidung.
Selagi tangannya sibuk menulis, Alin melirik sinis pada sosok Bian di hadapannya itu. "Gue pinter di pelajaran hitungan, tau?"
Tak ada respon yang berarti, Bian justru sibuk memandangi Alin yang fokus menghitung di kertas coretan. Sesekali gadis itu akan menggunakan kalkulator untuk memastikan bahwa jawabannya sudah benar, Alin memang terbiasa melakukan double check dulu sebelum menyalin jawabannya ke buku tugas. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi karena kurang teliti.
Mata Bian masih tak lepas memandangi gadis itu, matanya naik turun memperhatikan wajah serius Alin sekaligus menilai hasil jawaban yang dibuat gadis itu di kertas. Jika melihat dari ekspresinya sih, Alin tidak kelihatan kesulitan. Wajahnya santai saja, akan tetapi tangannya bergerak cepat. Kening Bian seketika berkerut saat menyadari keanehan tersebut.
"Lo bisa nulis pakai tangan kiri ya?"
Masih dengan mata yang berfokus pada buku, Alin menjawab. "Iya. Ini berguna banget kalau tangan kanan gue udah terlalu capek buat nulis, yaudah bisa ganti ke tangan kiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Worlds
Teen FictionApakah kamu percaya tentang adanya dunia paralel? Alin awalnya tidak percaya. Namun kejadian saat ia tenggelam dan diselamatkan oleh seorang gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengannya, Alin mengubah pemikirannya tersebut. Karena begitu ia terb...